JAGAT foto jurnalistik tak pernah berhenti memantik kontroversi, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Kontroversi teranyar dari negeri ini dihadirkan selebritas bergelimang sensasi, Syahrini. Dalam skala internasional, hal itu datang dari pewarta foto Italia Giovanni Troilo.
Syahrini awal pekan lalu membuat keriuhan di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta. Setelah lepas dari 2 jam pemeriksaan seputar fotonya dengan Feriyani Lim, sosialita yang tersangkut kasus pemalsuan dokumen oleh Abraham Samad, ia langsung diserbu pertanyaan puluhan wartawan.
Berondongan tanya para pewarta itu malah dijawab Syahrini dengan ajakan ber-selfie ria. ''Boleh enggak aku mau selfie sebentar?'' pintanya bernada manja. Tanpa menunggu persetujuan, pelantun tembang Sesuatu itu langsung berbalik badan sembari mengarahkan telepon pintar untuk mengabadikan posenya yang berlatar belakang beragam ekspresi dan pola awak media.
Setelah diunggah ke akun Instagram-nya, @princessyahrini, foto selfie dari angle yang berbeda itu kemudian merangsek ke wilayah jurnalistik setelah berbagai media daring dan cetak memublikasikannya. Puluhan pewarta foto yang meliput peristiwa itu terpaksa gigit jari karena bidikan mereka tergusur oleh selfie Syahrini.
Selain Syahrini, kini makin banyak figur publik negeri ini yang senang bercerita lewat media visual dan membaginya melalui jejaring sosial. Mulai dari Kahiyang Ayu, putri Presiden Joko Widodo, musikus Ari Lasso, hingga mantan Ibu Negara Ani Yudhoyono.
Kesenangan serupa juga menjadi milik para pesohor mancanegara. Dari komedian kondang Ellen DeGeneres, bintang sepak bola Oliver Giroud, hingga Perdana Menteri Malaysia Najib Razak.
Kegemaran itu pula yang membuat Perdana Menteri Denmark Helle Thorning-Schmidt, Perdana Menteri Inggris David Cameron, dan Presiden Amerika Serikat Barack Obama menuai kecaman. Pasalnya mereka tertangkap kamera tengah ber-selfie ria saat upacara perkabungan berpulangnya tokoh antiapartheid Nelson Mandela di Johannesburg, Afrika Selatan, Desember 2013.
Dengan kian melonjaknya jumlah figur publik yang mengunggah potret ke jejaring sosial, niscaya akan semakin banyak pula karya mereka yang dicuplik dalam ruang-ruang jurnalistik. Bisa saja suatu ketika mereka akan memunculkan genre baru dalam jurnalistik, yaitu public figur journalism, mengikuti berkembangnya jurnalisme warga (citizen journalism).
Para pesohor itu, dengan segala kelebihan dan tingginya prominensia, sangat berpeluang menghasilkan karya yang eksklusif, unik, dan mendalam. Gejala tersebut merupakan tantangan di depan mata bagi pewarta yang sebenarnya.
Jika tidak ingin peran mereka tergantikan, para jurnalis harus mampu menghasilkan produk jurnalistik yang tidak sekadar mengungkapkan fakta. Tetapi juga sanggup memunculkan hal-hal tersembunyi, kreatif membingkai kenyataan, dan menampilkan secara piawai kemasan visual yang menawan.
Sementara itu, dari belahan benua berbeda, fotografer Italia Giovanni Troilo akhirnya terbukti membuat cela yang mencoreng wajah fotografi jurnalistik dunia. Setelah menimbulkan kontroversi selama berhari-hari, Jumat pekan lalu para juri World Press Photo memutuskan mencabut gelar fotografer yang berbasis di Roma itu sebagai pemenang pertama kategori contemporary issues stories.
Ialah Wali Kota Charleroi Paul Magnette yang pertama kali mengirimkan surat keberatan ke markas World Press Photo di Amsterdam, Belanda. Magnette menilai esai foto Troilo tentang potret buram kehidupan di Charleroi, Belgia, berjudul The Dark Heart of Europe, telah memberi gambaran salah tentang kota yang dipimpinnya.
Setelah beberapa kali interogasi, akhirnya Troilo mengakui lokasi pemotretan salah satu fotonya tidak di Charleroi, tetapi di Brussels. Para juri yang semula kukuh pada putusan mereka ujungnya menyatakan Troilo melanggar regulasi soal akurasi karena telah membeberkan fakta yang tidak sebagaimana adanya. Menodai kejujuran yang seharusnya menjadi landasan.
Tahun sebelumnya juri ajang paling bergengsi di jagat foto jurnalistik itu bergeming pada penetapan karya fotografer Swedia Paul Hansen sebagai Photo of the Year 2012. Mereka mengabaikan protes berbagai kalangan yang menilai visualisasi fakta pemakaman dua bocah korban perang di Jalur Gaza milik Hansen telah mendapat sentuhan kosmetika secara berlebihan.
Pun demikian yang dialami fotografer senior agen Magnum Paolo Pellegrin. Pria kelahiran Roma itu tetap menggenggam predikat pemenang kedua kategori general news stories di tahun yang sama. Isu plagiarisme dan ketidakakuratan Pellegrin menuliskan caption dalam esai foto tentang kekerasan dan belitan narkoba di Rochester, New York, tidak membuatnya kehilangan gelar.
Kontroversi yang belum berhenti itu, jika tidak mendapatkan perhatian lebih, akan menjadikan World Press Photo sebagai entitas foto jurnalistik kehilangan data tarik. Bahkan, bukan tidak mungkin akan semakin banyak orang yang beranggapan bahwa lembaga nirlaba yang berkiprah sejak 1955 itu memberi tempat bagi pengikisan nilai-nilai kejujuran.
Troilo, Hansen, dan Pellegrin ialah potret kecil dalam skala global yang memberi gambaran bahwa jurnalisme foto tengah mendapat cobaan. Revolusi teknologi dan syahwat fotografi yang berlebihan telah menipiskan batas antara kejujuran dan kecurangan. Syahwat akan teknologi fotografi memang boleh tinggi, tetapi kecurangan tak boleh dijalani.
Menjadi pewarta bukan perkara mudah karena sejatinya ia menjalankan peran pendakwah. Pendakwah lewat media visual yang mewartakan fakta dalam bingkai kebenaran, tegak lurus pada ideologi akurasi, dan meletakkan nilai-nilai kejujuran sebagai landasan.
Ketika seorang pendakwah mengingkari kejujuran atau salah menyampaikan fakta, harus segera diingatkan. Karena jika tidak, akan banyak umat yang tersesatkan.
Salah satu foto yang merupakan bagian dari esai foto karya Giovanni Troilo (www.worldpressphoto.com)
World Press Photo of the Year 2012 karya Paul Hansen