Headline
Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.
Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.
F-35 dan F-16 menjatuhkan sekitar 85 ribu ton bom di Palestina.
RABU (6/6) sore tadi saya memandu acara Ngopi Sore (Ngobrol Pintar Soal Restorasi) yang diselenggarakan Media Center Partai NasDem di Jakarta. Mitra ngobrol saya adalah anggota DPR baru dari Fraksi NasDem, Titik Prasetyowati Verdi.
Dia menduduki kursi DPR di Senayan lewat pergantian antarwaktu dari sebuah daerah pemilihan di Jawa Timur. Ia dilantik menjadi anggota DPR pada 18 Mei yang lalu. Saat ngobrol dengan saya, ia memosisikan dirinya sebagai anggota Komisi X yang antara lain membidangi pendidikan.
Obrolan yang kami usung adalah menangkal radikalisme di sekolah. Tema ini kami obrolkan sebab radikalisme memang telah merasuk ke mana-mana, termasuk ke sektor pendidikan.
Siapa yang tidak prihatin jika satu keluarga menanamkan paham radikalisme dan tak canggung-canggung melakukan aksi bunuh diri di Surabaya -- katanya supaya masuk surga -- dengan lebih dulu membunuh sesama manusia karena punya keyakinan "manusia dalam kelompok itu memang layak dibunuh".
Belum lagi kasus bom diri di Surabaya menghilang dari ingatan, kita kembali dikejutkan dengan ditemukannya bom buatan mahasiswa di Universitas Riau oleh Densus 88 dan mengakibatkan sejumlah mahasiswa perguruan tinggi negeri itu ditangkap.
Banyak informasi yang masuk ke saya bahwa paham radikalisme yang diawali dengan intoleransi ternyata sudah ditanamkan sejak anak-anak menempuh pendidikan di sekolah dasar. Guru-guru tak bertanggung menyampaikan ajaran bahwa haram hukumnya berteman dengan mereka yang tidak seagama.
Di sekolah, anak-anak didik kita tak lagi dibiasakan melakukan upacara bendera sebagai bentuk pengakuan bahwa mereka adalah anak-anak bangsa yang berdiam di Indonesia dan mestinya bersyukur mereka bisa bersekolah, belajar untuk meraih masa depan yang lebih baik.
Tema obrolan kami di atas dan tulisan ini, sangat mungkin tidak disukai oleh Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah yang belakangan ini (maaf) alergi dan sensi begitu mendengar istilah radikalisme.
Lewat statusnya di Facebook (Senin, 4 Juni 2018), Fahri menulis seperti ini: "Siapakah yang radikal dalam sejarah? Bukan orang beragama. Radikalisme itu produk komunis dan sekuler."
Saya sih berharap, yang menulis kata-kata di atas adalah Fahri Hamzah palsu. Maklum banyak orang yang membuat akun dengan menggunakan nama tokoh terkenal atau piblic figure.
Masih menurut Fahri, tuduhan bahwa orang beragama radikal baru muncul belakangan. "Dan di bulan Ramadhan ini rasanya mereka mengumumkan perang. Aku akan layani satu per satu."
Lho, ada apa ya Fahri Hamzah kok tiba-tiba sewot begini? Apakah panik lantaran ia membuat pernyataan blunder membela para mahasiswa Universitas Riau dan menyayangkan polisi yang masuk kampus secara sembarangan untuk menangkap para mahasiswa yang kedapatan merakit bom?
Siapa yang mengajak perang? Beginikah mental dan moral wakil rakyat kita? Bukannya membuat pernyataan yang mendamaikan, tapi malah memanaskan situasi. Saya kutip kata-kata berikutnya: "Dengan kacamata peradaban, kita akan tahu anatomi dari perang ini. Kita tahu kapan ia mulai, siapa yang memulai, yang meniupkan terompet komando dan yang memilih lokasi pertempuran."
"Mereka berada di tengah, mereka menuduh kita tidak toleran, mereka mencari segudang alasan agar kita tidak dipercaya orang, agar kita disisihkan di pinggiran. Peta yang rumit inilah yang akhirnya menjebak banyak orang. Termasuk kawan kita sendiri yang lugu dan kurang akal. Perang ini memakan banyak korban. Tetapi umumnya, sebagaimana perang, perang ini korbannya rakyat. Kejahatan adu domba telah menjadi narasi resmi negara."
Sangat disayangkan, Fahri Hamzah membuat dikotomi "kita" dan "mereka". Lalu siapa yang dimaksud Fahri dengan "kita" dan "mereka". Ada pula istilah "kejahatan adu domba telah menjadi narasi resmi negara".
Sadar atau tidak sadar, dari kata-katanya, Fahri Hamzah telah menciptakan tembok pemisah atau kubu lewat kata "kita" dan "mereka". Siapa pun yang dikelompokkan sebagai "mereka" dianggap musuh dan Fahri mengajak untuk diperangi. Celakanya, Fahri telah menuding negara sebagai pihak yang berperilaku jahat dan pengadu domba.
Semoga tafsir saya atas pernyataan Fahri di atas keliru, sebab sebagai seorang politikus andal, terkenal pula, Fahri pasti sangat mengetahui fakta dan narasi apa yang sesungguhnya sedang terjadi di negeri ini.
Fahri pasti tahu bahwa di negeri ini, seperti ditulis Muhammad Zazuli, ada sekelompok orang aneh, kelompok sakit jiwa tapi bernafsu ingin berkuasa. Mereka berteriak “ganti presiden”, tapi bingung jika ditanya siapa kader mereka yang dicintai rakyat dan layak jadi presiden.
Fahri Hamzah pastinya juga mengetahui bahwa ada sekelompok orang yang gemar menyebar fitnah, hoaks, isu SARA dan ujaran kebencian, tetapi justru merasa sedang menjalankan perintah agama. Mereka mengaku sebagai pejuang agama, tapi perilaku dan tindakannya jauh dari nilai agama, bahkan aksi dan sepak terjangnya justru malah semakin sukses mempermalukan agama jadi bahan tertawaan.
Fahri Hamzah pasti juga tidak akan menutup mata bahwa hanya soal kaos “Dia Sibuk Kerja", ada segerombolan orang yang tega mempersekusi seorang ibu dan anaknya di acara CFD. Tapi mereka bukannya mengakui, menyesali dan meminta maaf atas insiden memalukan itu, namun malah balik memfitnah bahwa ibu dan anak itu adalah penyusup yang melakukan akting dan merekayasa untuk menyudutkan mereka. Mereka suka mendzalimi tapi justru memutar balik fakta dan gantian teriak merasa sebagai korban yang didzalimi.
Mudah-mudahan Fahri Hamzah juga tahu peristiwa menarik yang terjadi di Jember, Jawa Timur hari Sabtu 2 Juni lalu. Bupati Jember dr Faida MMR hari itu meresmikan renovasi Gereja Katolik Santo Yusuf di kotanya. Peresmian berlangsung sore hari, sehingga dimanfaatkan sang bupati yang anggun dan cantik itu untuk buka puasa bersama.
"Ini sejarah, pertama kali ada buka puasa di gereja, dan disediakan makanan buka oleh gereja,” tutur Faida.
Buka puasa ini, menurut Faida, menandakan kerukunan umat beragama di Jember luar biasa. Antarumat beragama saling menghormati dan saling menjaga.
Saya tidak tahu, Fahri Hamzah bersuka cita atau sebaliknya bersedih hati lalu mengajak perang begitu mengetahui Bupati Jember Faida meresmikan renovasi gereja dan buka puasa bersama dengan jemaat gereja itu.
Kembali ke ngobrol saya dengan Titik Prasetyowati Verdi. Sebagai anggota DPR, dia menyayangkan "ajakan perang" yang diungkapkan salah seorang pimpinan DPR yang oleh Titik disebut dengan "oknum" dan apa yang disampaikan bukan mewakili lembaga DPR, melainkan pendapat pribadi.
"Tapi, sebagai anggota DPR meskipun baru, saya bertanggung jawab untuk mengingatkannya. Kita harus bersyukur hidup di Indonesia yang berideologi Pancasila yang senapas dengan ajaran Islam," katanya.
Baru sebulan lebih menjadi anggota DPR, Titik mengaku tidak habis pikir apa yang sebenarnya dikerjakan para anggota dewan. Kepada saya, dia lalu menunjukkan foto-foto ruang rapat komisi yang hanya diisi oleh segelintir anggota DPR padahal saat itu sedang ada rapat kerja dengan pemerintah.
Titik mengungkapkan setiap kali dia mengikuti rapat, banyak kursi anggota dewan yang kosong.
Saya dan bahkan rakyat yang mereka wakili sebenarnya sudah terbiasa dengan pemandangan di gedung DPR seperti itu. Tapi ketika ada seorang anggota DPR yang "pamer" atas kinerja rekan-rekannya, tentu menjadi menarik.
Titik mengaku malu, apalagi jika sedang rapat kerja dengan pemerintah. Jumlah personel dari pemerintah yang ikut rapat jauh lebih besar daripada anggota DPR, "padahal DPR yang mengundang. Anggota DPR benar-benar makan gaji buta. Terus terang saya malu," ujar Titik Prasetyowati.
Yang lebih memalukan, menurut perempuan mantan atlet karate pemegang "Dan Enam" ini, ketidakpedulian anggota DPR bahkan juga terlihat saat jadwal rapat pleno digelar.
Melalui HP-nya, perempuan ini memperlihatkan rekaman video saat DPR membahas revisi atas UU Tindak Pidana Terorisme (Antiterorisme). Dari rekaman itu, saya melihat anggota tim dari Kementerian Hukum dan HAM sangat banyak, sedangkan wakil dari DPR hanya segelintir.
Masa kecil hingga dewasa dihabiskan di Jawa Timur, Titik tentu terbiasa bicara ceplas-ceplos. Tampil sebagai nara sumber dalam acara Ngopi Sore, dia mengenakan hijab biru namun bersepatu kets.
Titik menjelaskan sampai sekarang ia masih rajin berolahraga karate, bahkan merangkap sebagai pelatih. Tercatat dua kali ia meraih juara dunia. "Meskipun saya sudah tidak muda lagi, saya masih sanggup menempeleng dengan telapak kaki saya," katanya.
Ehmm. Saya kok jadi khawatir, jangan-jangan Titik nanti khilaf lalu menempeleng dengan kaki yang masih bersepatu rekan-rekannya di DPR yang makan gaji buta dan mendukung radikalisme.(*)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved