Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
DI antara pekatnya malam, dua bocah perempuan berlari kecil sambil memegang sebilah kayu kecil yang tengah menyala. Cahaya temaram yang dihasilkan obor kecil itu berasal dari kapas bercampur biji pohon jarak yang terbakar.
Sambil berceloteh, salah satu bocah perempuan kemudian menancapkan bilah kayu yang menyala tersebut di bawah pohon yang berada di dekatnya. Disusul oleh bocah kedua.
Obor itu terbuat dari biji pohon jarak yang ditumbuk halus dan dicampur dengan kapas, kemudian direkatkan pada sebilah kayu kira-kira selebar jari tangan dengan panjang lebih kurang 25 cm, kemudian dijemur sebelum dibakar pada malam hari.
Tak hanya di bawah pohon, obor itu juga ditancapkan di pojok-pojok rumah mereka. Di rumah-rumah warga yang lain, obor ikut ditancapkan di makam leluhur warga. Saat obor ditancapkan, mereka pun mengucapkan doa.
Mereka berdoa untuk arwah leluhur mereka yang sudah meninggal agar mendapatkan berkah pada Ramadan. Kedua, agar mereka dapat bertemu dengan malam Lailatul Qadr yang istimewa.
Begitulah tradisi maleman yang biasa dilakukan oleh masyarakat muslim suku Sasak di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Tradisi maleman biasanya dilaksanakan setelah buka puasa pada malam 21 Ramadan.
Warga menyalakan dile jojor di setiap sudut rumahnya, sebelum tarawih dimulai. Dile atau dilah artinya lampu dan jojor (obor kecil).
Pemasangan dile jojor menjadi penanda datangnya malam mulia, melebihi seribu bulan. Penanggalan ganjil di sepertiga akhir Ramadan pada 21, 23, 25, 27, dan 29 diyakini malam istimewa turunnya Lailatul Qadr.
Menurut leluhur suku muslim Sasak, penerangan dengan menggunakan dile jojor tersebut dimaksudkan untuk menyambut datangnya malam Lailatul Qadr yang dengan cahaya-Nya akan menerangi kehidupan seseorang.
"Kalau dulu tidak ada rumah yang tidak pasang jojor. Semua pasti pasang. Dile jojor jadi penanda Ramadan," kata Ketua Nahdlatul Ulama (NU) Kota Mataram, Fairuz Abadi.
Ya, masyarakat Sasak dulu memasang jojor setinggi 1 meter hingga 1,5 meter di depan dan samping samping pintu pagar rumah mereka, setiap malam Ramadan tiba. Bukan hanya pada malam 21 Ramadan saja.
Namun saat ini, tidak semua orang Sasak memasang dile jojor. Generasi muda Sasak sudah banyak mengenal dile jojor yang dulu diandalkan menjadi alat penerang, terutama di wilayah perdesaan. "Dile jojor sudah langka di Lombok karena listrik sudah nyaris merata masuk hingga ke perdesaan," ucap Fairuz.
Dile Jojor bukannya lenyap sama sekali. Warga Dusun Tenges Enges, Dasan Tapen Kecamatan Gerung, atau Kuripan, Kabupaten Lombok Barat, termasuk yang masih menjalankan tradisi ini, khususnya di malam-malam ganjil 10 hari terakhir Ramadan.
Menurut Kepala Dinas Pariwisata (Disbudpar) Kota Mataram, Abdul Latif Nadjib, tradisi dile jojor sudah turun temurun di Kota Mataram, terutama pada kelurahan atau lingkungan yang berpenduduk asli, salah satunya di Kelurahan Dasan Agung.
"Namun di tengah era modernisasi saat ini, menyalakan 'dilah jojor' pada`saat maleman kerap kali diganti dengan lampu lilin atau lampu templek," katanya.
Roah gubuk
Pada 10 malam terakhir Ramadan, muslim Sasak lebih khusyuk melakukan iktikaf di masjid. Selain memperbanyak ibadah pada malam-malam istimewa itu, mereka juga menyongsongnya dengan tradisi roah gubuk.
Roah gubuk adalah kenduri massal dengan hidangan yang dibawa oleh semua orang untuk disantap bersama. Warga akan membawa berbagai penganan ke masjid dalam nampan yang disebut dulang. Isi dulang akan dinikmati bersama dan biasanya terbagi dalam kelompok-kelompok yang terdiri dari empat orang untuk setiap satu dulang.
Muslim Sasak umumnya menjalankan 20 rakaat salat Tarawih dan tiga rakaat salat Witir. Lima belas hari terakhir, selain ditandai dengan periode mbalik ayat, juga dengan bacaan qunut pada rakaat terakhir salat Witir.
Malam Ramadan di kalangan muslim Sasak yang umumnya ahlussunnah wal jamaah, juga amat meriah. Di masjid, berkumandang puji-pujian kepada Nabi Besar Muhammad SAW membahana setiap saat.
Puji-pujian itu kembali dikumandangkan pada dini hari sampai tiba waktu subuh. Puji-pujian itu punya istilah beragam, ada yang menyebutnya nazkir atau nyelawat.
Usai iktikaf panjang di tiap malam ganjil itu, tinggal sejengkal lagi tibalah hari nan fitri. Tak ingin sendiri menikmati kesenangan setelah peperangan panjang saum, umat Islam Sasak tidak lupa pada leluhurnya. Maka, pagi-pagi benar usai salat Subuh, muslim Sasak membuka pintu rumah menuju makam para leluhur. Inilah ziarah kubur yang dimulai pada pagi 29 Ramadan.
Di beberapa tempat di Lombok, ziarah kubur juga menyertakan dulang untuk dinikmati selama ziarah. Namun, tujuan utama ziarah kubur ialah mengenang dan mendoakan para leluhur. Memetik kebaikan hati mereka yang telah meninggal selama hidup di dunia, dan berdoa demi keselamatan para leluhur mengarungi hidup yang sesungguhnya di alam akhirat.
Taufan, penulis yang baru meluncurkan buku berjudul Lombok Beribu Masjid, Senin (28/5), mengatakan, cara hidup masyarakat Sasak tidak lain ialah bentuk konkret dari nilai-nilai budayanya yang menjadikan masjid sebagai pusat orientasi.
Pola ini membentuk kantong hunian tradisional yang khas berhierarki, dari ruang kekerabatan keluarga (bale langgak), kemudian dusun sampai desa yang membentuk pola hubungan terstruktur dengan masjid," katanya.
Sebelum menjadi identik dengan Islam, masyarakat Sasak Lama (Lebung) yang animistik menggunakan objek alam seperti gunung, mata air, dan pohon besar sebagai penanda tempat (ineun tetaok) dan pusat orientasi ruang budaya yang mistis-dinamisme.
Setelah menjadi Islam, masyarakat Sasak melakukan adaptasi konsep ruang dan menjadikan masjid sebagai pusat orientasi ruang budaya 'Paer' yang mistis-religius. Kemudian masjid menjadi 'ibu ruang Paer'/ineun Paer, yang sejalan dengan teologi Islam yakni konsep Paer sebagai ruang penantian (sementara) di dunia keberadaan sebelum menuju akhirat yang abadi. Maka tak heran, jika pada Ramadan di Lombok begitu semarak.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved