Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
CANGIK dan Limbuk bergegas membereskan macam-macam uba rampe (perlengkapan) pasewakan agung di Istana Amarta sesaat setelah acara itu rampung. Menyiapkan dan memberesi segala keperluan untuk peristiwa kenegaraan tersebut memang menjadi bagian pekerjaan tetap mereka, tentunya bersama dengan para dayang dan abdi dalem lain.
Setelah semua tertata dan resik, Cangik-Limbuk melepas lelah di pondok mereka yang berada di sekitar pojok benteng bagian dalam. Di rumah sederhana yang asri itu mereka bertempat tinggal.
Kodratnya, meski pendidikan terbatas, Cangik dikaruniai kecerdasan di atas rata-rata. Minatnya terhadap isu-isu kebangsaan pun seperti kaum elite. Maka tak aneh bila ia kritis terhadap masalah ekonomi, sosial, politik, dan budaya. Bukan hanya dalam lingkup Amarta, melainkan juga yang terjadi di negara-negara lain, seperti Astina. Eloknya, kelebihannya itu menurun kepada anak tunggalnya, Limbuk.
Sore itu, setelah gebyur (mandi keramas), Limbuk duduk di lincak di serambi depan sambil mengirisi singkong rebus tipis-tipis untuk dijadikan sebagai makanan ringan balung kethek. Sebelum digoreng, singkong yang sudah diiris itu dijemur terlebih dulu hingga kering.
Tidak lama kemudian Cangik menyusul membawa dua tampah untuk tempat menjemur singkong irisan. Langkahnya kecil-kecil, mungkin karena ia sudah tua. Yang tidak pernah hilang dari kebiasaannya, suka menikmati susur. Susur adalah tembakau yang disumpalkan di mulut dan dikulum pelan-pelan sesaat setelah mengunyah kinang.
"Mak, tahu enggak...berita yang lagi gayeng di Astina?" Limbuk membuka pembicaraan.
"Berita apa nduk, dhemenan (perselingkuhan) lagi?" jawab Cangik sambil mesem tipis sehingga pipinya yang kempot kian kentara.
"Bukan... Itu lo mak, banyak para bupati dan nayaka praja di Astina yang ditangkap penegak hukum. Mereka ditengarai melalukan tindak pidana korupsi," terang Limbuk.
Hari-hari ini Limbuk lebih sedikit langsing dengan wajah segar. Dietnya rada membuahkan hasil. Sudah sekitar empat bulan terakhir, Limbuk mengurangi makan nasi atau makanan yang berkarbohidrat tinggi dan mengandung minyak. Ia lebih banyak makan sayur dan buah-buahan. Kebiasaan lain, rajin berolahraga, di antaranya pingpong bersama teman-temannya di bawah pohon sawo manila yang teduh di samping rumah.
"Oh...itu ta. Ya, saya juga dengar nduk. Itu akibat gembelengan," timpal Cangik sambil membetulkan susurnya.
"Maksud Mak?" sergah Limbuk.
"Banyak orang yang menduduki pucuk pimpinan atau jabatan hanya untuk gagah-gagahan. Mereka alpa atau sengaja melupakan bahwa kedudukan itu merupakan amanah," jelas Cangik serius.
Limbuk menoleh ke arah Maknya, tapi tidak ada kata yang terucap. Ia lalu melanjutkan mengirisi singkong. Lalu, sesekali Limbuk menggeleng-gelengkan kepala dengan bibir mengatup rapat. Pipinya yang menul-menul tampak memerah.
Cangik pun dengan rapi menata singkong irisan hingga tampah yang kedua penuh. Sejenak ia mengela napas, dan kemudian terdengar dendang tembang dengan suara serak dan pelo.
'Gundul-gundul pacul-cul, gembelengan...
Nyunggi-nyunggi wakul-kul, gembelengan...
Wakul ngglimpang segane dadi sak latar...
Wakul ngglimpang segane dadi sak latar...
Limbuk langsung menghentikan aktivitasnya. Ia tersenyum lebar mendengarkan tembang yang dirasakan menggelitik itu. "Hehehe... lagu apa itu Mak? Lucu!" serunya. "Aku belum pernah mendengar tembang itu mak. Hahaha..." ketawanya tak tertahan. "Siapa yang membuat?"
Cangik menjelaskan tembang kuno itu sebenarnya pasemon (sindiran) bagi siapa saja yang menjadi pemimpin atau penguasa. "Konon tembang ini diciptakan sekitar 1400-an oleh Sunan Kalijaga dan teman-temannya," paparnya.
"Arti atau makna tembang itu apa Mak?" rajuk Limbuk.
Cangik menengadahkan kepala. Mulutnya yang sudah ompong berkomat-kamit bagaikan dukun yang sedang merapal. Ternyata, Cangik sedang berusaha keras mengingat-ingat inti pesan tembang warisan leluhur tersebut.
Tidak lama, Cangik mengatakan tembang Gundul-Gundul Pacul itu memang mempunyai makna filosofis. Gundul, jelasnya, adalah kepala tanpa rambut. Kepala itu merupakan lambang kehormatan atau kemuliaan seseorang, sedangkan rambut adalah mahkota. "Jadi gundul itu artinya kehormatan tanpa mahkota," tuturnya.
Sementara itu, pacul (cangkul), lanjutnya, adalah alat untuk mengolah tanah. Ini gambaran rakyat karena pada umumnya kawula alit bermata pencaharian pertanian.
"Jadi, Gundul Pacul itu maknanya pemimpin itu berkewajiban atau berjuang menyejahterakan rakyat," tuturnya.
Kali ini, Limbuk meletakkan pisau, bangkit dari dingkliknya, dan duduk selonjor di samping Maknya. "Menarik ini Mak...lanjutkan Mak!"
Seraya membetulkan ujung kainnya, Cangik menjelaskan pacul itu juga bisa dimaknai papat kang ucul (empat yang lepas). Artinya, pemimpin yang tidak menggunakan empat indranya--mata, hidung, telinga, dan mulut--untuk rakyat. "Tidak untuk melihat, mengendus, mendengar, dan berucap untuk kepentingan rakyat."
"Jadi, makna gundul-gundul pacul, gembelengan?" tanya Limbuk penuh semangat.
"Gembelengan itu artinya ugal-ugalan, bermain-main, sembrono," kata Cangik. Pemimpin, lanjutnya, sesungguhnya bukan orang yang diberi mahkota, melainkan pembawa cangkul yang berjuang untuk rakyat.
"Lalu, Nyunggi-nyunggi wakul-kul, gembelengan?" tanya Limbuk. Menurut Cangik, nyunggi wakul itu membawa bakul di atas kepala, simbolisasi menjunjung amanah rakyat. Namun, karena gembelengan, wakul ngglimpang segane dadi sak latar.
Cangik melanjutkan, wakul ngglimpang itu bakul terguling, maknanya amanah rakyat itu terjatuh. Kemudian, segane dadi sak latar, artinya nasinya tumpah memenuhi halaman sehingga tidak bisa dimakan lagi. Ini menggambarkan semuanya itu hancur berantakan.
Limbuk tersenyum puas mendengarnya. "Tembang sederhana dan jenaka tapi mengandung makna luhur," gumamnya.
"Itulah budaya kita nduk. Mengkritik atau menyindir itu dengan berbudaya sehingga meskipun pesannya sangat keras, terasa nyaman bagi yang dikritik, atau siapa pun," kilahnya. "Yang terjadi di Astina itu para pemimpinnya gembelengan," tambahnya.
Hari mulai gelap, Cangik dan Limbuk kemudian memberesi bahan makanan balung kethek. Keduanya lalu masuk rumah menjemput malam.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved