Headline
Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.
Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.
Presiden menargetkan Indonesia bebas dari kemiskinan pada 2045.
LUNTURNYA budaya hormat terhadap guru seolah telah menjadi pemandangan biasa dalam praktik pendidikan di sekolah dewasa ini. Etika budaya Timur yang kental dengan keramahan dan kesopanan terhadap sesama, apalagi terhadap sosok guru, sudah mulai ditinggalkan generasi milenial negeri ini. Pada 2016, publik sempat geger dengan viralnya foto siswa SMA Toddopuli 6, Makassar, yang duduk secara tidak sopan sambil merokok di samping gurunya yang sedang mengajar di kelas. Raut wajah sang guru pun tampak seolah tak berdaya untuk mencegah kelakuan siswanya tersebut. Bahkan Februari silam, sekelompok siswa SMAN 1 Polombangkeng Utara, Sulawesi Selatan, melakukan tindak anarkistis dengan merusak fasilitas sekolah hanya karena tidak menerima para guru di sekolah tersebut berupaya mendisiplinkan mereka.
Fenomena ini mengindikasikan ada sesuatu yang salah dengan pendidikan kita. Atmosfer pendidikan yang cenderung mekanis serta administratif mengharuskan para guru berjibaku dengan berbagai jilid dokumen yang harus dipenuhi sebagai prasyarat mengajar di kelas.
Membuat para guru kehilangan banyak waktu untuk membangun relasi emosional dengan para siswanya. Kesempatan guru untuk sekadar bercengkerama dengan peserta didik di luar konteks subjek ajar sedikit banyak terkikis atau bahkan terkuras dengan praktik-praktik administrasi yang harus mereka jalankan. Akibatnya, relasi guru dan siswa menjadi berjarak dan pada akhirnya para murid hanya memandang guru sebagai petugas ajar semata tanpa memiliki ikatan emosi sama sekali.
Kessler (2000) dalam The Soul of Education: Helping Students Find Connection, Compassion, and Character at School menyatakan, "The messages our students receive from our modeling are even more potent when we invite not only mind and body, but also heart, spirit, and community into our classrooms." Pembelajaran terbaik yang bisa didapat murid dari guru di kelas akan lebih bermakna jika prosesnya tidak hanya melibatkan nalar dan fisiknya, tetapi juga melibatkan rasa, semangat, dan keterlibatan dengan lingkungan sekitarnya. Dia juga menambahkan bisa saja sistem pendidikan kita menyusun kurikulum, mengadakan berbagai pelatihan kepada guru-guru untuk mengembangkan pemahaman teori maupun teknik dalam mengajar yang terbaik.
Namun, jika para guru kehilangan kesempatan untuk mengembangkan kapasitas emosional dalam berinteraksi dengan para siswa, praktik pendidikan kita akan kehilangan makna. Melalui kurikulum yang disusun, satuan pendidikan dapat saja melahirkan lulusan dengan kemampuan akademis yang kompetitif, tapi kering secara emosi. Mampu berterima kasih dan dapat menghormati guru yang mengajarinya pun mungkin menjadi hal yang sulit untuk dilakukan. Viralnya kisah Fredy Candra yang memberangkatkan 65 gurunya jalan-jalan keluar negeri sebagai bentuk terima kasihnya kepada mereka adalah sebuah anomali. Di tengah karut-marut pendidikan kita yang acapkali memunculkan perseteruan antara guru dan siswa belakangan ini, kisah Fredy yang mengungkapkan rasa terima kasih kepada gurunya dengan cara yang tidak biasa menjadi oasis tersendiri di tengah-tengah gersangnya ikatan emosi guru dan siswa dalam banyak praktik pendidikan saat ini.
Kisahnya semestinya menyentak kesadaran banyak guru bahwa menjadi guru bukan hanya untuk memenuhi proses mekanis yang sifatnya rutin semata. Namun, sejatinya menjadi guru ialah bagaimana dapat memberikan pengalaman yang membekas di hati muridnya sehingga pengaruhnya akan diingat abadi oleh peserta didiknya. Kisah Fredy Candra ini setidaknya mengindikasikan satu hal; ikatan emosi yang terjalin antara dirinya dan guru-gurunya cukup baik. Setelah hampir 25 tahun sejak kelulusannya dari jenjang pendidikan menengah atas, jasa gurunya benar-benar dirasa membekas pada dirinya sehingga dia memilih berterima kasih dengan cara yang istimewa kepada mereka.
Interaksi dan ikatan emosi
Membaca kisah Fredy Candra, sebuah pertanyaan sederhana bisa saja muncul, apa sebenarnya resep guru-gurunya Fredy sehingga jasa mereka benar-benar membekas dihatinya? Jika melakukan flashback mengenai praktik pendidikan yang terjadi di Indonesia pada dua hingga tiga dekade silam, tepatnya antara era 1980-an hingga 1990-an (tahun Fredy bersekolah dari jenjang SD hingga SMA), kurikulum yang digunakan ketika itu ialah kurikulum 1984 atau lebih dikenal dengan 'Kurikulum 1975 yang Disempurnakan'. Model belajar yang cukup populer kala itu disebut cara belajar siswa aktif (CBSA). CBSA merupakan pendekatan proses belajar-mengajar yang lebih menekankan bukan hanya pada keterlibatan intelektual peserta didik, melainkan juga lebih melibatkan pendekatan mental dan emosional (Djahiri, 1980).
Sepuluh tahun berikutnya, dikenal Kurikulum 1994, yang pada praktiknya tidak jauh berbeda dengan kurikulum sebelumnya. Kedua kurikulum ini pada masanya benar-benar memberi ruang yang cukup lebar kepada para guru untuk membangun interaksi dan ikatan emosi dengan peserta didik. Bukan hanya di dalam kelas, melainkan di luar kelas pun para guru masih punya waktu yang cukup luang untuk menemui murid-muridnya. Tidak jarang guru-guru pada masa itu memiliki kesempatan untuk berkunjung ke rumah siswa-siswinya untuk sekadar bercengkerama, memberi nasihat, maupun memberi laporan perkembangan si anak kepada orangtuanya. Proses ini setidaknya dapat menjadi jawaban betapa generasi-generasi yang lahir dari proses pendidikan kala itu (termasuk Fredy Candra) merasakan benar jasa guru-gurunya. Gurunya bukan hanya sosok yang mengisi kapasitas intelektualitas, melainkan juga mengisi ruang emosinya.
Becermin pada praktik pendidikan dewasa ini, di atas kertas kurikulum yang dijalankan hari ini memang dianggap jauh lebih baik daripada kurikulum-kurikulum sebelumnya karena telah melalui tahap penyempurnaan. Aspek sikap dan perilaku terhadap peserta didik juga menjadi titik tekan dalam kurikulum saat ini. Namun, para stakeholder pendidikan lupa para guru dewasa ini juga diberi beban tugas administrasi yang berlimpah, yang harus mereka jalani. Bundel-bundel dokumen yang berjumlah puluhan hingga ratusan halaman harus mereka penuhi, mulai RPP, silabus, program tahunan, dan program semester. Di satu sisi, pemenuhan administratif perangkat pembelajaran ini bernilai positif bagi profesionalitas guru.
Namun, di sisi lain, para guru kehilangan banyak waktu untuk memiliki kesempatan membangun relasi emosi dengan para siswa-siswinya. Alih-alih berkesempatan dapat berkunjung ke rumah peserta didiknya, usai mengajar, selain harus mempersiapkan perangkat pembelajaran keesokan harinya, para guru sudah harus kembali berjibaku dengan jebakan administratif lainnya. Akibatnya, para guru akan kelelahan sehingga peran menjadi pendidik menjadi terkikis, selain hanya pekerjaan mekanis yang dijalankan. Ujungnya, pendidikan karakter yang digaungkan menjadi titik bidik utama menjadi kehilangan makna dan akhirnya hanya menjadi slogan semata. Kisah Fredy Candra dan guru-gurunya bisa dijadikan sebagai cermin bersama. Guru tidak boleh terjebak dalam beban tugas administrasi semata, tapi diberi ruang yang lebih lebar untuk dapat berinteraksi dan membangun ikatan emosi dengan peserta didiknya. Dengan demikian, peran mereka menjadi lebih bermakna dan menjejak tebal dalam hidup para muridnya.
Kirimkan ke email: [email protected] atau [email protected] atau fax: (021) 5812105, (Maksimal 5.500 karakter tanpa spasi. Sertakan nama, alamat lengkap, nomor telepon, foto kopi KTP, nomor rekening, dan NPWP).
Setiap materi baik artikel, tulisan, maupun foto, yang telah ditampilkan di harian Media Indonesia dapat dimuat kembali baik dalam format digital maupun nondigital yang tetap merupakan bagian dari harian Media Indonesia.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved