Headline
Hakim mestinya menjatuhkan vonis maksimal.
Talenta penerjemah dan agen sastra sebagai promotor ke penerbit global masih sangat sedikit.
Muhammadiyah diharapkan turut memberi tekanan publik dalam perubahan sistem pemilu. Peneliti senior Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI) Syamsuddin Haris mengungkapkan hal itu dalam Seminar Tanwir Muhammadiyah yang bertema Kedaulatan politik, hukum, dan ekonomi di Ambon, Maluku, kemarin.
Menurut Syamsuddin, pembenahan sistem pemilu perlu dilakukan untuk bisa melahirkan parpol dan politisi yang berkualitas, amanah, kompeten, dan akuntabel.
“Apabila kualitas parpol baik, bangsa juga menjadi baik,” katanya.
Persoalannya, Syamsuddin menilai keinginan perubahan akan berhadapan dengan parpol yang menikmati sistem parlementer.
“Parpol menikmati situasi ini dan tak kunjung berubah. Di sini posisi penting Muhammadiyah dalam memberikan tekanan publik,” ujar Syamsuddin.
Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 2005-2015 Din Syamsuddin menilai Indonesia dalam kesukuannya lebih banyak muncul sebagai mikronasionalisme.
Karena itu, dia menyarankan penegakan kedaulatan kembali ke khitah kebangsaan.
“Kini terjadi deviasi, distorsi, dan disorientasi kehidupan nasional dan cita-cita dasar bangsa. Muhammadiyah harus berperan meluruskan itu.”
Pemilu yang bebas menjadi unsur dalam demokrasi. Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang juga pakar hukum tata negara Jimly Asshiddiqie mengingatkan demokrasi juga membutuhkan penegakan hukum sebagai pengontrol kebebasan.
Jika tidak, lanjut dia, kebebasan bisa berujung pada perpecahan dan kesenjangan sosial ekonomi, atau seperti istilah Presiden Joko Widodo (Jokowi), praktik demokrasi kebablasan. “Makanya penegakan hukum harus menjadi kunci,” terangnya dalam sebuah diskusi di Jakarta.
Tenaga Ahli Madya Kedeputian Bidang Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi di Kantor Staf Presiden (KSP) Alois Wisnuhardana menekankan bahwa Presiden Jokowi memprihatinkan praktik berdemokrasi yang dipenuhi berita bohong, fitnah, dan ujaran kebencian.
“Kita disibukkan dengan berita bohong, klarifikasi, dan memproduksi itu sehingga melupakan beragam potensi yang bisa kita garap,” kata dia. (Nur/HJ/Ant/N-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved