Headline
Perekonomian tumbuh 5,12% melampaui prediksi banyak kalangan.
Perekonomian tumbuh 5,12% melampaui prediksi banyak kalangan.
MEKANISME proses eksekusi putusan pengadilan terkait dengan kasus lingkungan hidup dan kehutanan perlu disederhanakan agar pelaksanaannya tidak berlarut-larut. Apalagi, kasus lingkungan hidup dan kehutanan lainnya terus bergulir.
Berlarut-larutnya eksekusi putusan kasus lingkungan hidup antara lain terjadi pada kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang melibatkan PT Kalista Alam. Perusahaan tersebut dijatuhi hukuman denda Rp366 miliar.
Kasus terbaru ialah dimenangkannya sebagian gugatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) terhadap PT Waringin Agro Jaya (WAJ) dengan tuntutan sebesar Rp466,5 miliar. Eksekusi putusan tersebut juga terancam berlarut-larut jika pemerintah belum menemukan formula yang lebih sederhana.
“Saya pikir harus ada penyederhanaan. Juga di MA, agar permohonan tidak perlu menunggu putusan resmi sampai ke pihak penggugat. Proses itu saja, memakan waktu berbulan-bulan,” kata Direktur Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Henri Subagyo saat dihubungi Media Indonesia, kemarin.
Menurutnya, MA seharusnya juga dapat mengoptimalkan laman khusus mereka yang kerap mengunggah putusan pengadilan lebih cepat daripada memberikan salinan putusan ke pihak penggugat. Mekanisme tersebut cukup kuat dalam memberikan informasi kepada publik dan penggugat. “Yang penting, kita sudah tahu amarnya,” kata Henri.
Selain menunggu salinan putusan, kendala lain dalam melaksanakan eksekusi ialah respons pengadilan atas permohonan eksekusi. Dalam kasus PT Kalista Alam, selama enam bulan Kementerian LHK tidak mendapat respons dari pengadilan.
Direktur Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Kementerian LHK Jasmin Ragil Utomo yang ditemui terpisah mengatakan pihak pengadilan biasanya meminta pihak yang memenangi gugatan untuk menunggu hingga putusan eksekusi sampai.
“Kalau sudah ada putusan, pasti kita dipanggil. Nanti tunggu delapan hari. Jika tidak dipatuhi, akan kita tetapkan sebagai eksekusi,” ucap Ragil, menirukan jawaban terkait dengan pelaksanaan eksekusi.
Ia menyebutkan, selain kasus PT Kalista Alam, saat ini terdapat dua kasus lain yang belum dieksekusi, yakni PT Merbau Pelalawan Lestari (MPL) dalam kasus perambahan hutan dan PT Selat Nasik Indokwarsa dalam kasus pertambangan.
Mekanisme pemulihan
Sementara itu, pemerintah tengah menyusun mekanisme pemulihan kerusakan lingkungan, terutama terkait dengan kasus karhutla. Perusahaan yang dinyatakan bersalah atas kasus kebakaran hutan akan diwajibkan untuk memulihkan kawasan hutan dan lahan yang terbakar dengan petunjuk operasional standar yang diterbitkan Kementerian LHK.
“Kami sudah lakukan dalam kasus limbah. Analoginya sama,” ucap Dirjen Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kementerian LHK Rasio Ridho Sani.
Sama dengan kasus pencemaran limbah, lanjut dia, pemerintah akan memakai tim panel ahli untuk menentukan kriteria pemulihan. Setelah lahan pulih, fungsi kawasan tersebut masih akan dilihat lagi untuk tindakan lanjutan. (Ric/H-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved