Headline
Pemerintah tegaskan KPK pakai aturan sendiri.
SUARA riuh terdengar di seujung Kampung Nggolonio ketika rona jingga di langit pagi. Para lelaki penuh semangat saling bersahutan sambil memegang seperti sebuah tombak dengan ujungnya 3 -4 buah besi tajam sejajar atau tombak bermata tiga - empat.
Sedang lelaki lain, juga para ibu, masih terihat mengasah ujung tombak mereka. Beberapa lelaki lain serta para ibu terlihat sudah mulai menyusuri jalan kampung ke arah utara menuju pesisir pantai Dhajong, yang merupakan bagian dari pantai leluhur kampung Nggolonio.
Bak serdadu, setiap lelaki dengan tombaknya masing-masing. Ada yang bercelana pendek bersepatu dan ada sebagain yang tidak bersepatu atau bersendal.
Baca juga: Dibangun Sejak 2013, Terminal Antarnegara di NTT belum Beroperasi
Tidak luput, anak-anak seumuran SD hingga SMA juga berjalan kearah yang sama dengan semua memegang tombak bermata tiga-empat.
Di punggung mereka tergantung tas dengan ujung terbuka yang umumnya terbuat dari jerigen bekas serta sebagian lain ada yang menggunakan tas dari anyaman daun lontar. Para ibu lain atau para orangtua sebagian memilih untuk membawa kantung jaring.
“Hari ini, seluruh warga Kampung Nggolonio akan melaksanakan ritual Rongga. Sebuah ritual yang sudah diberitahukan pada seluruh warga kampung dari beberapa minggu sebelumnya untuk pergi menangkap ikan beramai-ramai di tepi pantai,” kata Martin, salah satu warga kampung yang juga ikut dalam ritual.
Kondisi laut sedang surut hingga lebih dari satu kilometer. Para lelaki perempuan serta para tua adat kampung mulai berjalan melewati hutan bakau menuju ke arah surutnya air.
Sekitar 500-700 meter dari tepi pantai mereka berhenti. Ada sebuah terusan yang terhubung dari arah laut. Terusan ini disebut Ulu Wolung. Seperti terusan Suez, terusan Ulu Wolung ini sangat dalam namun lebih sempit dengan lebar terusan variatif dari 6 - 10 meter. Sehingga hanya bisa dilewati perahu atau kapal berbadan sempit.
Pada terusan ini seluruh warga mulai berhenti. Mereka mengelilingi terusan. Salah seorang tua adat mulai membuka ritual dengan bahasa adat dan menebarkan akar tuba atau lareng untuk meracuni ikan pada terusan ini dimana akar tuba yang telah dicari dengan ritual adat pada dua hari sebelumnya.
Setelah menunggu beberapa menit akhirnya mereka mulai menombak dengan beberapa ikan yang mulai tampak keluar dari air akibat keracunan akar tuba. Rupanya akar tiduba tak terlalu berkhasiat karena tidak banyak ikan yang teracuni. Terdengar teriakan riuh di sisi barat. Mereka kegirangan ketika melihat seorang lelaki berhasil menombak ikan yang cukup besar seperti ikan kerapu yang hendak keluar dari terusan menuju laut.
Tidak beberapa lama terdengar kembali suara riuh dari sisi timur. Seorang lelaki lain berhasil menangkap seekor ikan pari. Mereka berlomba-lomba menangkap atau menjaring ikan sebanyak mungkin untuk masuk kedalam tas atau keranjang mereka.
Paskalis Dhalu, seorang tua adat dari suku Tereng yang membuka acara tersebut juga terlihat menombak ikan. Ia lalu memasukan ikanya kedalam tas yang juga sudah disiapkannya. Matanya terus mengawasi pergerakan ikan yang keluar dari terusan dengan tangan bersiap untuk menombak.
“Ritual ini sebagai tanda rekonsiliasi atau pertobatan mungkin kami sudah lupa leluhur dengan alam karena hujan sudah mulai kurang, hasil panen sudah kurang, semua kesalahan harus kami buang biar hilang di lautan ini,” kata Paskalis.
Menurut Paskalis, terusan ini menjadi awal nenek moyang orang Nggolonio atau Suku Tereng sampai ke kampung ini. Ritual ini juga sebenarnya peringatan kembali akan leluhur mereka.
Rupanya tidak semua beruntung. Ada sebagian lelaki atau perempuan belum juga mendapatkan hasil. Tidak terasa hampir 4 jam mencari ikan, pasang naik air laut mulai datang. Mereka harus bergegas pulang .
Kecerian terus terpancar di wajah mereka. Paskalis dengan beberapa orang tua kampung pun berangsur naik ke tepi pantai.
Sebagian mereka ada yang terus kembali ke rumah dan sebagian kembali berkumpul pada sebuah batu datar tepi pantai dekat sebuah pohon bersama para tua adat untuk membakar sebagian hasil tangkapan mereka lalu menyatapnya dengan ketupat yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Mereka berkumpul persis pada sebuah kolam investor garam PT Cheetam Garam Indonesia.
Seorang lelaki tua lain, Ambrosius Siu, yang sedang menyantap ikan mengungkapkan ritual Ronga ini juga sebagai rekonsiliasi karena keburukan atau kejahatan selama setahun sekaligus pengingat moral agar setiap lelaki atau perempuan dalam kampung harus saling kenal secara keluargaan bukan nafsu berahi yang berakibat fatal bagi seluruh penghuni kampung karena alamlah yang nanati akan menghukum mereka. Dosa seorang penghuni adalah dosa seluruh penghuni kampung karena petakan yang ditimbulkan dari kemarahan alam.
“Ini pengingat sesama warga agar tidak terjadi perselingkuhan. Setiap orang harus tahu mana saudara. Mana saudara, mana om, tanta. Jangan ambil yang bukan hak miliknya.” Ungkapnya.
Bagi Ambroius, Rongga menjadi ritual penting orang Nggolonio yang harus dijalankan setiap tahun. Namun ia serta para tetua adat kampung bersyukur tahun ini ritual ini sudah mulai dijalankan karena sempat vakum 5 tahun.
“Ini adalah ritual yang sebenarnya harus kami jalani. Sudah hampir 5 tahun kami tidak jalani karena ada ritual seperti pacuan kuda dan ritual ambil garam yang masih merupakan satu kesatuan dengan ritual Rongga ini tidak bisa dijalanakan karena tanah ritual telah digusur menjadi tambak garam oleh investor garam, “ pungkasnya. (OL-1)
Machiko Kennedy baru saja dinobatkan sebagai Puteri Kebudayaan Remaja Indonesia 2025 di ajang nasional yang berlangsung di Yogyakarta.
Benang Merah Festival 2025 akan menyajikan pertunjukkan tari, musik, kelas publik, bazar dan pameran karya, pemutaran dan diskusi film, serta diskusi publik.
Festival Kerukunan di Desa Pabuaran, Kerukunan bukan Proyek Elite
Kementerian Kebudayaan secara resmi menetapkan 17 Desember sebagai Hari Pantun. Hal tersebut tertuang dalam Keputusan Menteri Kebudayaan Nomor 163 Tahun 2025 tentang Hari Pantun.
Program pelatihan dari International Center for Land Policy Studies and Training (ICLPST) bukan sekadar pendidikan kebijakan pertanahan dan pajak, melainkan perjalanan lintas budaya.
Era Soekamto mengatakan akan terus melestarikan dan mempromosikan batik melalui karya-karya rancangannya sebagai seorang desainer serta menghadirkan platform Nusantara Wisdom.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved