Headline
Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.
Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.
MESKI kemarau sudah melanda lebih dari dua bulan, air masih mengalir di anak Sungai Kapuas di wilayah Kecamatan Rasau Jaya, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Sayangnya, air itu keruh, berwarna cokelat kemerahan.
Bagi warga sekitar, kondisi itu bukan masalah. Suatu siang, di akhir pekan lalu, misalnya, seorang ibu tetap mandi, keramas, tanpa menghiraukan air yang keruh. Kekeruhan air di sungai itu terjadi sepanjang tahun. Lahan gambut di sekitarnya membuat air tidak pernah bersih.
Kondisi inilah yang membuat serombongan mahasiswa Universitas Gadjah Mada memeras daya. “Kami berupaya memberikan solusi untuk warga dengan membuat penjernih sungai,” papar Monika Listania Yuliandri, koordinator tim.
Air sungai di Rasau Jaya memiliki kadar total suspended solid 232 mg/l dan pH yang mencapai angka 3-4. Kondisi itu tidak sehat dan tidak baik digunakan. Penjernih air yang dibuat mahasiswa arsitektur dan teman-temannya itu mampu menurunkan kadar TSS menjadi 68 mg/l dengan pH 6-6,5 sehingga layak untuk digunakan dalam kehidupan sehari-hari, mandi, cuci, dan berkegiatan di kakus.
Listania memastikan alat penjernih air ini dibuat secara sederhana dan ekonomis sehingga dapat direplikasi masyarakat. Peranti penjernihan air yang pertama itu ditempatkan di Puskesmas Rasau Jaya. Fuad Atthoriq, mahasiswa teknik kimia, menyatakan pemurnian air menggunakan senyawa Poly alumunium chloride (PAC).
“Air sungai di sini mengadung kepadatan air yang terlarut, senyawa organik, dan banyak bakteri. Dengan mata telanjang, kita bisa melihat adanya lumpur pada airnya,” paparnya.
Senyawa PAC mampu mengendapkan berbagai senyawa organik dan bakteri di air. Kerja para mahasiswa dimulai dengan memompa air sungai yang dialirkan melewati klorin sebagai sebagai pembunuh bakteri.
Air dimasukkan ke tandon dan ditambahkan PAC dan pH up agar mengendap. Setelah itu, dalam waktu tidak lebih dari 30 menit, kotoran dan bakteri mengendap.
Biaya pembuatan alat penjernih ini, sambung Neisya Isni Belqisti, mahasiswa teknik kimia lainnya, mencapai Rp1,6 juta. Biaya operasional lainnya ialah pembelian kertas nanofilter Rp15 ribu dan disinfektan klorin Rp160 ribu. Untuk setiap 500 liter air hanya dibutuhkan biaya operasional Rp4.000. Sangat ekonomis.
“Kehadiran mahasiswa UGM sangat berguna bagi kami. Kami berharap gagasan dan inovasi mereka dapat menginspirasi masyarakat ikut membangun desa,” tutur Bupati Kubu Raya, Muda Mahendrawan. (Ardi Teristi/N-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved