Headline
Perekonomian tumbuh 5,12% melampaui prediksi banyak kalangan.
Perekonomian tumbuh 5,12% melampaui prediksi banyak kalangan.
Keterwakilan pria mendominasi dunia politik nasional, baik di lembaga politik maupun partai politik.
Hal ini yang diprihatinkan Gubernur Sumatra Utara, Edy Rahmayadi, saat membuka diskusi Peran Politik Perempuan dalam Pemberitaan Media yang digelar Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) di Medan, Sumut, kemarin.
Gubernur Edy dalam sambutan tertulisnya mengungkapkan DPRD Provinsi Sumut hanya diisi 15 politikus perempuan atau 15% dari 100 anggota.
Bahkan dari 33 kabupaten/kota di Sumut, masih ada yang tidak memiliki anggota DPRD perempuan, yakni Pak-Pak Bharat dan Nias. "Hanya Kabupaten Labuhanbatu yang memenuhi kuota 30% keterwakilan perempuan," katanya.
Sementara itu, daerah lain belum memenuhinya, seperti Serdangbedagai, Karo, Samosir, Sibolga dan Pematangsiantar, hanya sebanyak 20%. Lebih minim lagi di Medan, Tanjungbalai, Gunung Sitoli, Deliserdang, Binjai, Padangsidimpuan, Tobasa, Taput, Tapsel, Asahan, Batubara, Simalungun, Nias Selatan dan Nias Barat, cuma diisi antara 10-20%.
Baca juga: Pemprov Sumsel Harap Semua Berperan Jaga Kelancaran Pemilu
Daerah-daerah yang keanggotaan DPRD-nya di bawah 10% ialah Tebingtinggi, Dairi, Humbahas, Tapteng, Madina, Paluta, Palas, Labusal, Labura, Langkat, dan Nias Utara. "Tentunya kita prihatin melihat capaian ini. Diperlukan langkah bersama yang holistik dan terpadu dalam meningkatkan keterwakilan politik perempuan di legislatif," sebut Gubernur.
Pada kesempatan itu, Wakil Ketua DPD RI, Darmayanti Lubis, menyatakan salah satu problem keterwakilan politik perempuan ialah platform partai yang tidak memihak.
Dari catatannya, di tingkat nasional, pada era reformasi atau periode 1999-2004 terdapat 45 perempuan dari 500 anggota DPR RI, atau 9%, kemudian periode 2004-2009 meningkat menjadi 61 perempuan atau 11,09% dari 550 anggota DPR RI.
Namun, jumlah keterwakilan perempuan justru menurun pada periode 2014-2019, yakni hanya ada 97 atau 17,32% perempuan yang menduduki 560 kursi DPR RI.
Pemilih tunanetra
Komisi Pemilihan Umum (KPU) memastikan pemilih tunanetra bisa meminta bantuan pendampingan kepada keluarga atau Kelompok Panitia Pemungutan Suara (KPPS) saat mencoblos di bilik suara. Namun, hal ini ditolak dari pemilih tunanetra karena dianggap melanggar prinsip pemilu yang langsung, umum, bebas dan rahasia (luber).
"Prinsipnya, saya menolak diantar sampai ke bilik suara walaupun nanti didampingi pihak keluarga sekalipun," ujar salah seorang tunanetra asal Kota Cimahi, Saefudin, 51, kemarin.
Menurut dia, Pemilu 2019 jangan seperti pemilu sebelumnya, yakni pemilih tunanetra diarahkan oleh pendamping untuk mencoblos partai tertentu yang tidak sesuai pilihannya. "Saya pernah diarahkan pendamping untuk mencoblos partai yang tak sesuai keinginan saya. Mencoblos kan harus rahasia walaupun yang mengantar itu ialah keluarga sendiri," katanya.
Meski begitu, Saefudin dan puluhan penyandang tunanetra lainnya mengaku terbantu dengan adanya sosialisasi peraga surat suara Pemilu 2019 kendati alat bantu template hanya disediakan untuk kertas suara capres. (DG/BB/DW/LN/N-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved