Headline
RI dan Uni Eropa menyepakati seluruh poin perjanjian
Indonesia memiliki banyak potensi dan kekuatan sebagai daya tawar dalam negosiasi.
HUJAN cukup deras mengguyur Yogyakarta dan sekitarnya, Kamis (17/1) petang. Setelah menunggu sekitar 20 menit, tiba giliran saya untuk mencicipi seduhan kopi sang empunya kedai Klinik Kopi, Firmansyah, atau akrab disapa Pepeng.
Begitu masuk, tampak enam toples berisi kopi yang telah masak (roasting) berjajar di hadapan Pepeng. Pada label-label toplesnya, tertulis berbagai nama. Javani dari Jawa Barat, Padusi dari Solok, Bu Nur dari Solok, Huta Batak dari Sumatra Utara, Senggani dari Banjarnegara, dan Ethopia Guji Natural.
Dengan fasih, Pepeng pun menceritakan satu per satu keunikan kopi yang ada di depannya. Ketika saya kebingungan memutuskan kopi yang akan saya coba, Pepeng menawari saya untuk menjajal Kopi Senggani.
Ternyata, ada cerita menarik di balik kopi arabika Senggani. Sembari menggiling biji kopi dan meraciknya menjadi segelas minuman yang siap diteguk, Pepeng mulai berkisah.
“Kopi ini bukan ditanam petani kopi, tetapi petani wortel dan kentang. Kita ajari mereka sistemnya (untuk menanam dan menghasilkan kopi yang baik),” kata dia.
Kopi ditanam di sela-sela tanaman utama seperti sayur-mayur. Hasil menanam kopi, aku Pepeng, menguntungkan. Dari awalnya hanya enam petani yang mau menanam, sekarang penanam kopinya sudah bertambah menjadi 60 petani.
Kopi Senggani ialah bagian dari upaya Pepeng untuk melakukan pemberdayaan petani kopi di Banjarnegara. “Kami juga mengenalkan petik tunda (mundur sekitar dua minggu). Jika sebelumnya petik tanggal 12, ditunda petiknya tanggal 30 agar buahnya benar-benar berwarna merah, matang di pohon,” terangnya.
Pepeng mengatakan, biji-biji kopi di kedainya didapatkan langsung dari petani. Pembelian kopi dilakukan dalam hitungan setahun. Setelah kesepakatan tercapai, petani akan mengirimi ia kopi setiap bulannya, misalnya, 30 kilogram setiap bulan.
Biji kopi tersebut kemudian akan disangrai Pepeng dan pegawainya. “Kita menggoreng biji kopinya tidak sampai gosong. Mesin roasting yang kami gunakan berkapasitas tiga kilogram,” kata dia.
Mempertahankan ciri khas
Klinik Kopi sudah berdiri sejak 2013. Dari memakai lahan milik salah satu perguruan tinggi di DIY, kini Klinik Kopi sudah memiliki bangunan sendiri di Kaliurang Km 7,5 Gang Bima, Sleman.
Walau tidak luas, bangunan yang banyak menggunakan bahan bambu tersebut terasa lega dan nyaman. Salah satu yang dipertahankan Klinik Kopi hingga sekarang ialah interaksi antara Pepeng dan pembeli.
Pembeli harus memesan sendiri kopi yang akan diminum, tidak bisa dititipkan. Saat memesan itulah, interaksi dengan Pepeng terjalin.
“Tetap harus sendiri-sendiri datang ke sini karena itu yang paling penting,” ujarnya.
Pasalnya, lewat momentum yang biasanya berlangsung sekitar 5 sampai 10 menit itulah Pepeng dapat membagi kisah di balik kopi-kopi yang ia racik. Kemudian, layaknya dokter, lewat percakapan, Pepeng dapat memberi rekomendasi kopi yang cocok untuk dicoba sang pemesan.
Namun, Pepeng tak membatasi obrolannya. Topiknya tak harus melulu soal kopi. Tak jarang ia dan si pemesan bicara soal kehidupan sehari-hari, atau bahkan soal isu sosial politik.
Saat saya datang, kedai kopi yang biasa buka dari pukul 16.00 WIB-20.00 WIB ini, kecuali hari Minggu (libur), terlihat ramai. Waktu menunggu sekitar 15-30 menit. Harga per cangkir kopi yang disajikan ada yang Rp25 ribu, tetapi ada pula yang Rp40 ribu.
Pepeng menyebut, orang-orang datang ke tempatnya karena tahu dari berbagai media, mulai media cetak, elektronik, daring, Youtube, hingga film. Dari sekian banyak media tersebut, film Ada Apa dengan Cinta (AADC) 2 yang membuat kedai kopinya banyak dikunjungi.
Ia pun mengambil hitung-hitungan kasar, jika 10% dari sekitar 4 juta penonton AADC 2 datang ke tempatnya, sudah pasti tempatnya akan ramai terus. “Bahkan, sampai sekarang ada tur AADC yang salah satunya ke sini. Kalau tidak dibatasi, kita yang keteteran,” ucapnya.
Untuk mengakomodasi tur semacam itu, Pepeng mempersilakan membuat janji lebih dulu sehingga bisa datang sejam sebelum Klinik Kopi buka, sekitar pukul 15.00 WIB.
Salah seorang pengunjung, Ivan Yanuardi, yang tinggal di Bontang, Kalimantan Timur, mengaku, tahu Klinik Kopi setelah melihat di media sosial.
Pada Desember 2018, saat dinas ke Yogyakarta, ia pun menyempatkan diri datang ke Klinik Kopi. Ketertarikannya tersebut tidak lepas dari kecintaannya terhadap kopi setahun terakhir. Menurut dia, secangkir atau dua cangkir kopi sehari rasanya bisa menghilangkan stres.
“Di Klinik Kopi dilayaninya satu-satu. Di sini lebih banyak komunikasi. Kayak berobat rasanya, jadi pingin ke sini lagi,” kata dia.
Hal yang tidak jauh berbeda juga disampaikan Adi Mahesatama. Ia mengaku sengaja datang dari Tangerang bersama kekasihnya untuk merasakan suasana dan interaksi khas di Klinik Kopi. Sejak itulah, Adi mengaku mulai jatuh cinta dengan kopi.
“Saya datang pertama pada 2016, diajak teman. Tertarik datang ke sini lagi karena konsepnya beda,” tuturnya.
Selain konsumen kopi, ada pula pemilik kedai kopi yang khusus menyempatkan diri datang ke Klinik Kopi. Annisa Oktaviani namanya. Pemilik empat kedai kopi dengan nama Panglima Kopi dan Gerobak Kopi Jambul itu sengaja datang dari Jakarta untuk mencoba racikan kopi dan suasana di Klinik Kopi.
“Suka kopinya dan konsepnya. Banyak kedai kopi yang kurang dalam hal melayani. Mereka tidak menjelaskan kopi yang ada,” kata pencinta kopi jenis robusta ini. (M-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved