Headline
RI dan Uni Eropa menyepakati seluruh poin perjanjian
Indonesia memiliki banyak potensi dan kekuatan sebagai daya tawar dalam negosiasi.
SEIRING berkembangnya gaya hidup kelas menengah dan atas di Tanah Air, bisnis kopi di Indonesia pun memasuki kondisi euforia. Namun, hal tersebut sekaligus menciptakan pekerjaan rumah baru bagi para pelaku bisnis terkait untuk menjaga dan meningkatkan kualitas kopi lokal.
Pembahasan tersebut mengemuka dalam talkshow hari pertama Festival Kopi Nusantara 2019, Selasa (22/1), di pelataran Gedung Media Indonesia, Jakarta.
Talkshow bertema Kopi ndeso go to global itu dipandu wartawan senior Media Indonesia Tjahyo Utomo, dengan menghadirkan dua narasumber di bisnis kopi. Keduanya ialah Mikhael Rudy, peraih Gold Medal AVPA 2018, yang juga Pemilik Kopi Papaku Manggarai dan founder Kopi Tanah Air, serta Hendarto Setyobudi, peraih Gold Medal AVPA 2018 sekaligus pemilik Kopi Kawi Mengani Bali.
“Harga kopi setelah jadi juara bisa mencapai Rp2,4 juta per kilogram. Kopi kita harus jadi yang terbaik dengan satu syarat perbaiki kualitas kopi,” cetus Mikhael Rudy saat talkshow.
Ia mengungkapkan, industri kopi memang seksi. Akan tetapi, tidak sedikit yang memakai tipuan. Ia mencontohkan India yang menggunakan essence untuk campuran kopi saset. Hal serupa juga dilakukan Tiongkok untuk menjual komoditas kopinya. Ia tidak ingin hal itu terjadi pada industri kopi di Indonesia.
“Mari kita edukasi negeri ini dengan kopi dari industri asli yang kita proses. Kita fokus pada industri kopi berkualitas bagus dan premium. Jadi, jangan ekspor green bean. Indonesia paradigmanya masih menggunakan cara lama. Harus berubah. Negeri ini akan jadi negeri penghasil. Semua yang ada di dunia ini silakan ada, tapi tetap jaga kopi Indonesia,” ajak Mikhael.
Sementara itu, Hendarto Setyabudi, mengaku prihatin dengan industri kopi dewasa ini yang terlalu mudah menyematkan label. Menurutnya, kopi merupakan tanaman komoditas, dengan 90% kopi ber-grade komersial dan banyak dijual di supermarket. Hanya 5%-12% yang masuk kategori spesial.
“Tapi, kita di Indonesia terlalu mudah menyebut Indonesia sebagai penghasil specialty kopi. Padahal, specialty ialah kopi yang telah menjalani uji coba,” katanya.
Dijelaskan, jika sampel 300 gram kopi yang diproduksi dihitung cacatnya saat green bean, setelah dievaluasi tidak boleh kurang dari skor 9. Artinya, tidak boleh ada cacat sedikit pun untuk mencapai grade 1. Kopi yang bernilai minimal 80 sudah masuk kategori specialty. Untuk jenis robusta yang bagus akan disebut fine robusta, sedangkan arabika yang bagus disebut specialty.
“Kita lagi euforia yang akan menuju kritis. Karena kita mencampuradukkan kopi komersial dengan specialty. Pembeli tertipu membeli kopi dengan harga luar biasa mahal tapi kualitasnya biasa saja. Kepercayaan pada brand kopi ini bisa jadi boomerang dan membuat kopi jatuh,” terang Hendarto.
Metoda pengolahan, katanya, juga akan memengaruhi kualitas dan rasa. Saat ini ada peran 25% bagi pengolah kopi karena bisa mengolah buah kopi yang biasa-biasa saja jadi luar biasa. Menurutnya, metodelah yang membentuk karakter kopi.
Kopi pun sangat ditentukan ketinggian. Di atas 1.000 meter di atas permukaan laut (mdpl), lebih punya kualitas rasa baik dengan skor controlling lebih dari 90. Namun, itu dirasakan tidak adil untuk kopi di bawah ketinggian tersebut karena tidak pernah dapat skor controlling di bawah 82.
Karena itu, mereka mengolahnya agar diperoleh kualitas bagus. Saat ini, lanjut Hendarto, mulai ada pergeseran selera kopi dunia dari kebiasaan mengonsumsi kopi baru panen menjadi kopi yang disimpan satu hingga dua tahun.
Kopi yang disimpan lama akan membentuk bodi kopi dan rasanya lebih baik meski aromanya tidak sebagus kopi baru panen. Ia meminta para pebisnis kopi bisa menangkap tren ini dengan lebih rajin membeli kopi dari petani dan menyimpannya. Metode penggudangan tersebut, katanya, dapat memperbaiki harga kopi sehingga lebih ramah di kantong.(TS/M-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved