Headline

Perekonomian tumbuh 5,12% melampaui prediksi banyak kalangan.

Menghadirkan Sejarah yang Hilang

07/2/2017 08:44
Menghadirkan Sejarah yang Hilang
(MI/ARYA MANGGALA)

TOREHAN garis tegas dipadu warna cerah menjadikan dinding yang kukuh itu seolah berbicara kepada setiap orang yang melintas. Dinding setinggi 5 meter di Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) Kalijodo tersebut terlalu menawan untuk tidak diacuhkan, bahkan untuk sekadar tempat berswafoto.

Tim kreator dari Arsip Jakarta mencoba menghadirkan sejarah Kalijodo yang hilang lewat torehan mural dan graffiti. Tidak tanggung-tanggung, sebanyak 12 seniman Jakarta dan Yogyakarta bergabung mencurahkan imajinasi dan kreativitas mereka, Minggu (5/2).

Kalijodo yang menghimpun sejarah kental bertemunya tiga kebudayaan, yakni Betawi, Tionghoa, dan Banten, dihadirkan sebagai edukasi dalam bentuk seni gambar di ruang publik.

Arsitek konsultan dari Han Awal & Patners, Gregorius Yori Antar, menyatakan pihaknya memilih media seni mural dan graffiti untuk bisa menyampaikan sejarah Kalijodo kepada pengunjung.

Sejarahnya, Kalijodo merupakan tempat persinggahan etnik Tionghoa mencari gundik atau selir. Di wilayah itu pada 1950-an memang kawasan nongkrong muda-mudi Jakarta hingga banyak yang berjodoh.

Selama 20 tahun, ketika pendatang kian banyak, kali ikut kotor dan Kalijodo berubah menjadi tempat selingkuh hingga akhirnya berdiri lokalisasi prostitusi pada 1970.
Setelah 46 tahun menjadi kawasan hiburan malam, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta meratakan seluruh bangunan di Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara, dan Kecamatan Tambora, Jakarta Barat, itu pada 29 Februari 2016. Lahan milik negara itu disiapkan untuk taman dan jalur hijau. Namun, ruang terbuka hijaunya sampai saat ini masih sedikit.

“Kalijodo ini konsepnya ruang terbuka hijau, tapi jika ruang hijau itu tidak diberi fasilitas publik, kawasan akan menjadi rawan,” cetus Gregorius.

Minimnya fasilitas ruang terbuka hijau itulah yang hendak diselimuti para seniman mural dan grafitti untuk mengungkapkan pernah ada sejarah bernilai tinggi di kawasan itu.

Bagi Gregorius dan kawan-kawan arsitek, keberadaan RPTRA menantang untuk diperindah dengan konsep mengembangkan mental kepribadian yang cerdas pikiran.
“Peran kami menjadi solusi dari persoalan atas rancangan 70% ruang terbuka hijau dan 30% ruang publik Kalijodo. Dalam ruang ini kami akan menghadirkan public art tentang kebudayaan,” terangnya.

Pria yang banyak melestarikan rumah adat di pelosok ini mengatakan mural yang dibuat mengungkapkan nilai sejarah dan budaya Kalijodo. Hal itu dituangkan dalam menara setinggi 2 meter sebagai simbol kasih sayang dari aktivitas tradisi upacara Peh Cun atau dayung perahu bagi pemuda kala itu.

Salah satu seniman mural, Gigip, mengaku senang dapat berekspresi di Kalijodo.

“Ini menjadi ruang ekspresi kami untuk menuangkan karya berkesenian. Sekarang ini cukup sulit menemukan ruang seperti Kalijodo di perkotaan. Kami berharap dapat menumpahkan hasrat berkesenian di setiap tempat,” kata Gigip. (Sri Utami/J-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ricky
Berita Lainnya