Headline
Sebaiknya negara mengurus harga barang dulu.
KAMPANYE hitam dan kampanye negatif yang mengungkit isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dalam pilkada DKI Jakarta tidak terlalu dipedulikan masyarakat Ibu Kota. Pasalnya, pemilih di Jakarta lebih melihat calon pemimpin berdasarkan visi, misi, serta program yang ditawarkan.
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan Populi Center pada September lalu, masyarakat Jakarta yang memilih berdasarkan visi, misi, dan program kerja sebanyak 39,2%, kesukaan terhadap tokoh dan pasangan calon 29,8%, dan yang menyukai sifat dan gaya kepemimpinan pasangan calon 13,3%.
"Selanjutnya, yang memilih karena faktor kesamaan agama hanya 5%," ungkap Direktur Populi Center, Usep Ahyar, dalam diskusi bertajuk Kampanye Hitam dan Perilaku pemilih di DKI Jakarta, di Kantor PBNU, Jakarta, kemarin.
Perubahan pilihan terhadap pasangan calon pun, kata Usep, mayoritas bukan karena ajakan tokoh agama atau tokoh masyarakat. Sebanyak 55,5% karena masalah korupsi, 19,2% karena visi dan misi, dan ajakan akibat keterkaitan identitas sosial 6,8%.
Dalam survei itu, imbuhnya, 49,8% masyarakat Jakarta tidak keberatan memiliki gubernur nonmuslim dan yang keberatan berada di kisaran 46%.
Survei tersebut juga, ucap Usep, terungkap bahwa masyarakat Jakarta tidak memedulikan kegaduhan kampanye hitam yang menyerang SARA melalui media sosial. Pasalnya, media sosial hanya dipercaya oleh 7,2% masyarakat. Pemilih lebih mempercayai iklan TV sebanyak 68,2%
"Masyarakat tahu persis kampanye hitam di media sosial sumbernya tidak bisa dipertanggungjawabkan, fakta yang tidak jelas," cetusnya.
Dari hasil survei itu pula, sambungnya, tampak bahwa masyarakat Jakarta merupakan pemilih rasional yang tidak mudah dihasut oleh isu SARA. "Kampanye hitam dipahami oleh masyarakat sebagai cara kotor untuk menyerang lawan politik tanpa fakta yang jelas," tukasnya.
Di tempat yang sama, anggota Bawaslu DKI Jakarta Muhammad Jufri mengatakan sudah ada aturan dalam Pasal 69 UU Pilkada yang melarang pasangan calon menggunakan isu SARA sebagai alat kampanye, termasuk melalui dunia maya. Jika melanggar, dijerat dengan pidana pemilu yang diatur Pasal 187 ayat 2 UU Pilkada dengan ancaman pidana penjara maksimal 18 bulan.
Untuk mengawasi akun-akun yang menggunakan isu SARA, Bawaslu telah bekerja sama dengan Polda Metro Jaya untuk memantaunya. "Kami sudah bekerja sama dengan Polda Metro. Jika ada akun yang kampanye hitam, akan ditindak tegas." (Nyu/P-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved