KEKERASAN terhadap perempuan terus terjadi. Sejak Agustus hingga bulan ini terjadi lebih dari tujuh kasus kekerasan yang mengakibatkan nyawa perempuan melayang. Beberapa kasus kekerasan terhadap perempuan antara lain terjadi kepada Musarafah, 37. Jasad korban ditemukan pada 24 Juni di kolam di Kampung Nagreg RT 04/01 Desa Sentul, Balaraja, Kabupaten Tangerang, tetapi kondisinya sulit dikenali. Jasadnya ditemukan ketika air kolam mengering dan kondisinya sempat membuat ia tidak dikenali. Barulah pada 12 Agustus lalu Ditreskrimum Polda Metro Jaya mengungkap kasus tersebut.
Musarafah ternyata dibunuh teman bisnisnya, Bahrul Ulum, 29, pada 31 Mei lantaran kesal karena ditagih utang Rp50 juta. Kemudian, pada 21 Agustus, sesosok jasad perempuan ditemukan di Danau Ciater, Lengkong Utara, Serpong Utara, Tangerang Selatan. Warga mengenali jasad tersebut sebagai Maymunah, 25, warga Lengkong Karya. Perempuan itu diduga menjadi korban pembunuhan dan jenazahnya dibuang ke danau. Selanjutnya, pada 31 Agustus, ibu rumah tangga di Jalan Durian, Jatiasih, Kota Bekasi, menjadi korban penganiayaan rentenir. Perempuan itu juga meninggal dunia.
Sementara itu, pada 1 September, perempuan kembali menjadi korban pembunuhan. Kali ini, korban bernama Nurjanah, 30, dianiaya suaminya sendiri, Nurdin Suparman, 43, yang cemburu karena menduga pegawai toko sepatu di pasar Kranggan, Cibubur, itu berselingkuh. Jenazah Nurjanah ditemukan tanpa busana dalam karung plastik di sekitar Kota Wisata Gunung Putri, Bogor. Selain perempuan tersebut, masih ada beberapa lainnya yang bernasib serupa.
Rentan terdiskriminasi Menurut pengamat kejahatan dengan kekerasan, Fadli Imran, salah satu faktor penyebab kekerasan terhadap perempuan yang kini berkelanjutan antara lain karena perempuan ialah kelompok masyarakat yang rentan terdiskriminasi. Mereka sering dipandang lemah secara fisik. Selain perempuan, kelompok lain yang dianggap serupa ialah anak-anak dan manula. "Mereka (perempuan) sering dipandang sebagai kaum yang lemah secara fisik sehingga rentan menjadi sasaran kekerasan," kata dia, saat dihubungi, Selasa (8/9).
Menurut Fadli, faktor lain yang menyebabkan perempuan menjadi korban kekerasan ialah karena mereka sering diposisikan sebagai pihak yang memprovokasi pelaku. Tindakan provokasi korban biasanya terjadi berulang kali, mulai provokasi lembut sampai kasar, sehingga pelaku terpicu untuk melakukan kekerasan. "Biasanya, korban cenderung melakukan provokasi sehingga menyulut emosi pelaku," lanjutnya. Motif yang umumnya terjadi, ujarnya, bisa karena eksploitasi hingga kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Fadli juga menyoroti kasus pembunuhan wartawan Noer Baety oleh sejumlah perampok di rumahnya di Perumahan Gaperi RT 01 RW 09, Blok NC 6, Bojong Gede, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Menurutnya, tindak kejahatan pelaku bisa dipicu latar belakang situasional. Setiap pelaku kejahatan umumnya memiliki pilihan rasional dalam melakukan kejahatan. Pelaku tetap memikirkan risiko tertangkap, dihukum, konfrontasi dengan korban, hingga keuntungan ekonomi. "Tiap kasus bergantung pada faktor pencetus dan faktor pendukungnya. Dalam kondisi tertentu, sifat agresif manusia muncul yang terkadang bisa memicu tindak kekerasan hingga menyebabkan luka dan kematian," lanjutnya.
Sementara itu, anggota Asian Muslim Action Network (AMAN) perwakilan Indonesia Ruby Khalifah mengatakan penyebab utama banyaknya perempuan menjadi korban kekerasan ialah karena mereka sering dilihat pada posisi tidak menguntungkan dalam konstruksi masyarakat patriarkat Indonesia. Perempuan diposisikan sebagai kaum yang tidak banyak mendapatkan akses informasi sehingga dianggap lemah. "Karena lemah itulah, perempuan kerap kali menjadi korban," ujarnya.