Headline
Indonesia optimistis IEU-CEPA akan mengerek perdagangan hingga Rp975 triliun.
Indonesia optimistis IEU-CEPA akan mengerek perdagangan hingga Rp975 triliun.
Tiga sumber banjir Jakarta, yaitu kiriman air, curah hujan, dan rob.
MASYARAKAT diminta mewaspadai tsunami informasi yang beredar di media sosial terkait kasus penembakan Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat atau Brigadir J. Pasalnya, informasi tak terbendung tanpa disertakan bukti maupun data terkait peristiwa baku tembak di rumah Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo justru makin memburamkan kasus tersebut.
Demikian disampaikan founder KlinikDigital.org, Devie Rahmawati dalam keterangan tertulisnya yang dikutip Rabu (27/7). Dengan minimnya data dan fakta dari penyelidikan menyeluruh, Devie menyebut tak jarang satu sisi persepsi menjadi penentu opini publik.
“Dalam konteks kasus Brigadir J, awal viralnya kasus ini jelas berangkat dari opini yang begitu sengkarut," ungkap Devie.
"Justifikasi yang santer pada awal sebuah kasus yang digiring opini publik, tak jarang memberikan dampak negatif orang yang tidak bersalah,” tambahnya.
Saat ini, kata Devie, proses penyelidikan kasus Brigadir J terus berlangsung dengan mengumpulkan fakta dan data yang sebenarnya. Bahkan, Komnas HAM pun sempat menyampaikan ada kejanggalan dari pengungkapan kasus Brigadir J tersebut.
Devie pun mengkhawatirkan tuduhan di awal informasi viral yang bisa merusak reputasi seseorang. Tak hanya reputasi, tetapi jejaring yang terkait orang tersebut. Padahal, jika ditelisik kesalahan dari justifikasi awal netizen bisa jadi salah.
“Akan menjadi bijak, bila kita semua mengawal terus kasus Brigadir Y. Berbagai kasus yang viral lainnya di media sosial dengan pikiran terbuka, dan memberikan kesempatan para ahli yang sesuai kompetensinya untuk mengumpulkan data-data obyektif,” paparnya.
Devie menilai tidak semua informasi di media sosial menjadi berkah, justru sebagian menjadi bencana karena diwarnai banyak prasangka.
Namun, ia tak menampik pergeseran cepat informasi juga menghasilkan informasi positif dan membangun.
“Tetapi sering juga kita temui informasi yang tidak bermanfaat, bahkan opini tidak berimbang. Gulungan informasi viral menjadi alat untuk menjustifikasi sebuah pembenaran yang terus disebarkan, dan justru mengaburkan kebenaran,” ungkapnya.
Pada hakikatnya, kata Devie, media sosial menciptakan ruang tanpa tuan dan tanpa batas, yang memungkinkan setiap pengguna beraksi bebas kadang hingga kebablasan.
Apalagi, praktik anonimitas yang memungkinkan pengguna bersembunyi dalam identitas yang berbeda, memampukan pengguna untuk menjustifikasi informasi sesuai keinginannya.
“Dari beberapa kasus viral di media sosial, tak jarang tuduhan-tuduhan yang berujung kesalahan. Jari-jari netizen yang pada awal kasus viral pun tidak terkena pertanggungjawaban,” pungkasnya. (OL-13)
Baca Juga: Komnas HAM ungkap Bharada E Menjelaskan soal Menembak saat ...
Baca Juga: Ini Alasan Komnas HAM tak Tanya Ajudan Sambo Soal Luka ...
Para konsultan ini sebenarnya memiliki opini-opini, terlebih saat diskusi. Namun, untuk menuangkannya ke dalam bentuk tulisan tetap perlu diasah.
Sebagaimana dirumuskan para pendiri bangsa, demokrasi Indonesia dibangun di atas kesepakatan kebangsaan—yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Hasan mengemukakan pemerintah tak pernah mempermasalahkan tulisan opini selama ini. Hasan menyebut pemerintah tak pernah mengkomplain tulisan opini.
Perlu dibuktikan apakah teror tersebut benar terjadi sehingga menghindari saling tuduh dan saling curiga.
Dugaan intimidasi terjadi usai tayangnya opini yang mengkritik pengangkatan jenderal TNI pada jabatan sipil, termasuk sebagai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Yogi Firmansyah, merupakan aparatur sipil negara di Kementerian Keuangan dan sedang Kuliah S2 di Magister Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved