PENGANTAR: Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) kerap dianggap sebagai penyakit mematikan, menular, dan tidak dapat disembuhkan. Perkembangan teknologi medis telah memastikan penggunaan antiretroviral dapat menekan virus sehingga menekan peluang penularan dari orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Berikut penelusuran wartawan Metro TV dan Media Indonesia terhadap penanganan penderita HIV/AIDS. Ini merupakan laporan ke sembilan.
--------------------------------
Seorang penderita HIV, Hartini, sempat mengalami respons tidak bersahabat dari petugas kesehatan tempatnya melakukan kontrol kehamilan rutin. Namun dia beruntung karena Kepala Puskesmas Sawah Besar telah memahami program PPIA dengan baik. Hartini pun melahirkan bayinya secara normal pada 2 September 2014.
Hartini sempat mendapatkan penolakan dari para petugas kesehatan di bagian ruang bersalin Puskesmas Sawah Besar. Sebelumnya, ketika masih melakukan kontrol di bagian Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) semua berjalan lancar. Masuk ke usia kehamilan 37 minggu, dia harus kontrol ke bagian ruang bersalin.
Di sanalah dia mendapatkan penolakan secara halus dari para petugas kesehatan. "Dia (petugas kesehatan) bilang, mbak yakin mau melahirkan di puskesmas? Kami peralatannya belum lengkap lho. Alasannya seperti itu awalnya," tutur perempuan yang kerap disapa Tini itu.
Dengan sejumlah argumen, Tini menyatakan tetap berniat melahirkan di puskesmas dengan cara normal. "Lalu dia bilang 'maaf ya mba, mba Tini kan HIV, aku belum dapat pelatihannya'. Intinya kan itu," sambungnya. Karena Hartini berkeras, petugas kesehatan itu pun akhirnya berjanji akan membicarakan lebih lanjut dengan sesama perawat. "Katanya, dari 12 bidan, beberapa ada yang setuju saya melahirkan normal sisanya menganjurkan saya caesar dan menyarankan saya steril," kata Tini.
Menurut dia, hal itu sebagai bentuk ketakutan pribadi saja dari para petugas kesehatan yang belum terinformasi tentang program PPIA terkini. Tetapi, tidak semua petugas kesehatan maupun dokter bersikap demikian. Seorang koordinator bidan di puskesmas tersebut menawarkan diri untuk membantu persalinan di rumah Tini.
Dia pun didukung dokter kandungan yang didatanginya selama kontrol awal kandungan, dr Ekarini. Sebelum akhirnya periksa di puskesmas, Tini sudah diyakinkan oleh Ekarini kalau persalinan bisa dilakukan normal. Dia pun diyakinkan ASI-nya tidak mungkin menularkan virus HIV karena dia teratur minum ARV. "Tapi dia tetap mengingatkan saya ikut latihan laktasi agar tahu cara menyusui yang benar, tidak ada luka di puting," imbuh Tini.
Tini sempat pasrah untuk dirujuk saja ke RS Tarakan jika Puskesmas Sawah Besar tak bersedia menangani persalinan normalnya. "Saya ingin tenang, saya tidak mau ketika mulas-mulas nanti melihat muka-muka yang enggak enak," ujarnya menirukan apa yang disampaikannya kepada koordinator bidan.
Namun, ternyata para pengambil kebijakan di RS tersebut sudah terinformasi dengan baik mengenai program PPIA yang mengacu ke aturan WHO terbaru. "Dia bilang, 'Jangan pindah, mbak. Kami sudah dapat ultimatum dari kepala puskesmas dokter Arni, siapapun yang menolak persalinan, silakan membuat surat pengunduran diri," kenang Tini. Puskesmas Sawah Besar tegas mengimplementasikan program pemerintah meski sempat ada penolakan di tataran bawah. Hartini pun akhirnya melahirkan pada 2 September 2014 secara normal. (Nat/T-2)