Headline

Pemilu 1977 dan 1999 digelar di luar aturan 5 tahunan.

Fokus

Bank Dunia dan IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini di angka 4,7%.

Mereka Pindah ke Jembatan Genit

04/3/2016 04:30
Mereka Pindah ke Jembatan Genit
(MI/PANCA SYURKANI)

SETIAP pagi, Parto, 42, harus membersihkan sisa-sisa kesenangan sesaat pria-pria hidung belang di sepanjang Taman Tubagus Angke, sekitar Jembatan Genit, Kelurahan Pesing, Jakarta Barat.

Dengan menggunakan sapu lidi dan pengki, anggota pasukan oranye tersebut mengais bekas plastik kondom dari bisnis prostitusi kaki lima pada malam sebelumnya.

Setiap malam, sekitar 20 tenda berdiri di antara trotoar dan pagar pembatas Kali Angke di sekitar Jembatan Genit, tepat di depan kantor Polsek Jelambar itu.

Perempuan penjaja birahi berjejer di sepanjang trotoar dengan jumlah sekitar tiga kali lipat dari bilik-bilik tenda tersebut.

Pada Rabu (2/3) misalnya.

Sampai pukul 03.00 WIB dini hari, hujan belum juga reda.

Namun Icha, 20, masih berdiri di trotoar dengan setelan tank top oranye dan celana pendeknya.

"Malam ini agak sepi karena hujan. Harus sabar-sabar. Kalau setiap hujan enggak keluar, ya enggak ada duit," katanya.

Nur, 37, pria pemilik salah satu tenda cinta di Jembatan Genit itu mengaku sudah lama berbisnis tenda cinta semalam.

Pria yang baru saja digusur dari kediamannya di kolong Tol Pluit itu lupa kapan persisnya.

Yang jelas, jauh sebelum Taman Tubagus Angke didirikan, ia dan pemilik tenda lainnya sudah menyediakan jasa haram di tempat tersebut.

Nur hanya menyediakan kursi, tenda, dan air. Para PSK tidak terikat dengannya.

Mereka hanya membayar biaya penyewaan tempat yang ia sediakan mulai pukul 19.00 sampai pukul 05.00.

"Istilahnya kayak freelance gitu. Modal kita cuma kasih bangku dan tenda. Mereka bayar Rp10 ribu per tamu. Kalau sama kondom Rp15 ribu. Pendapatan kotor setiap malam sekitar Rp200 ribu. Itu belum dikurangi pengeluaran," ujarnya.

Saat ini, ada tujuh pekerja seks komersil (PSK) yang bekerja di dua bilik tenda miliknya.

Namun, pascapenggusuran pusat prostitusi di Kalijodo belum lama ini, Nur mengaku banyak PSK yang datang dan menawarkan diri mereka untuk bekerja di tempatnya.

Tetapi, Nur menolak karena selain tidak memiliki cukup banyak bilik, juga untuk mengurangi persaingan di antara para PSK.

"Di tenda-tenda lain diterima bagi yang masih kekurangan orang. Tapi, kalau di tempat saya enggak ada," tuturnya.

Ia mengaku kesal jika ada razia. Karena setiap malam Nur mengaku menghabiskan sampai Rp70 ribu untuk setoran ke aparat keamanan.

"Kami juga bayar ke aparat. Setiap ada patroli lewat kami kasih. Sekali kasih Rp5 ribu. Tiap tempat diminta setor," kata Nur.

Setiap ada razia, Nur dan para perempuan malam itu harus bergegas kabur.

Jika ada PSK yang tertangkap, tidak ada pilihan selain harus menjalani rehabilitasi yang dikelola pemerintah. (Irwan Saputra/J-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik