Headline

Hakim mestinya menjatuhkan vonis maksimal.

Fokus

Talenta penerjemah dan agen sastra sebagai promotor ke penerbit global masih sangat sedikit.

Melongok Ruang Gelap di Alun-Alun Kota Tua

Cecilia Ong
05/1/2018 09:58
Melongok Ruang Gelap di Alun-Alun Kota Tua
(STADHUIS: Siluet pengunjung berjalan di halaman Museum Fatahilah, Kota Tua, Jakarta, pekan lalu---MI/Panca Syurkani)

HAWA dingin menyentuh kulit ketika seorang perempuan muda masuk ke lorong gelap bawah tanah itu. Begitu ia masuk, tampak olehnya ruang-ruang yang sama gelapnya. Sebuah ruangan dengan ketinggian kurang lebih 130 sentimeter itu membuatnya harus menunduk ketika masuk.

Kesunyian yang kemudian menyeruak di dalam sana membuat perempuan itu tak betah berlama-lama berada di ruangan seluas 9 x 7 meter itu. Bukan ruang biasa, ruangan bawah tanah itu pernah menjadi penjara pada masa pemerintahan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), berabad-abad lampau.

“Cuma mengandalkan cahaya dari luar ruangan, selfie juga enggak bisa. Enggak tahan di dalam lama-lama,” tutur perempuan itu meski pada awalnya ia dan seorang kawannya sangat bersemangat masuk ke penjara bawah tanah yang terletak alun-alun Museum Fatahillah, Kota Tua, Jakarta Barat, itu.

Penjara tua itu diminati para pengunjung Kota Tua. Antrean cukup panjang terlihat di dekat lubang kotak tempat masuk ke bawah tanah. Total ada enam ruang penjara di bawah alun-alun itu. Ruang yang tadi dia masuki ialah penjara khusus perempuan.

“Cut Nyak Dien ditawan di sini sebagai penjara transit sampai dipindahkan ke Sumedang sampai akhir hayatnya,” ujar Slamet, seorang pemandu wisata di kompleks Taman Fatahillah, kepada Media Indonesia.

Selain itu, masih ada lima ruangan bekas penjara lainnya yang dahulu digunakan untuk tahanan laki-laki. Ukurannya lebih kecil, yakni sekitar 6 x 3 meter. Hingga kini di dalamnya masih terdapat bola-bola besi berkarat yang dahulu digunakan untuk pemberat rantai yang membelenggu kaki para tahanan.

Pada masa itu, Museum Fatahillah menjadi kompleks pusat pemerintahan Belanda di Batavia, termasuk pengadilan VOC. Baik tahanan politik maupun kriminal ditempatkan di penjara itu. “Tahanan politik itu yang dianggap melawan Belanda. Di penjara sini ada Untung Surapati dan Pangeran Diponegoro,” lanjutnya.

Bagi mereka yang divonis mati, eksekusi dilakukan di alun-alun tersebut. Ada yang lewat tebasan sebilah pedang atau digantung di tiang dengan latar belakang dentangan lonceng di atas kubah museum. “Tali dan tiang gantungnya sudah tidak ada. Kalau replika pedang dipajang di ruang tata pamer museum,” tutur Usman, salah satu pemandu lainnya.

Penjara bawah tanah itu merupakan cagar budaya yang menjadi salah satu daya tarik wisata di Kota Tua. Peresmiannya dilakukan Gubernur Ali Sadikin pada 1972. (J-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Panji Arimurti
Berita Lainnya