Headline
Kemenu RI menaikkan status di KBRI Teheran menjadi siaga 1.
NADA sirene palang perlintasan kereta api terdengar memekakkan kuping. Penanda kereta datang itu sontak menghentikan dua perempuan yang sedang asyik mengobrol di sebuah peron.
Tuti, 52 dan Ikem, 42, bukan sedang menunggu kereta untuk menjadi penumpang. Lorong tempat mereka duduk itu pun bukan lagi peron.
Tak lama berselang, melintaslah commuter line dari arah Tanah Abang menuju Manggarai. Dalam beberapa detik kereta itu melesat hingga menerbangkan sebagian seng yang menjadi atap bangunan yang mereka anggap sebagai rumah itu.
“Ya, begini aja setiap hari. Kalau hujan ya kehujanan kalau panas ya kepanasan,” kata Tuti sambil terkekeh saat ditemui Media Indonesia, kemarin.
Tidak ada tembok bata bersemen apalagi genting. Mereka berdua hidup di tanah bekas peron Stasiun Mampang. Sebuah stasiun yang dulu pernah digunakan untuk perhentian commuter line. Tapi kini, tidak lagi.
Untuk urusan mandi, Tuti dan Ikem harus membayar Rp2 ribu untuk menggunakan toilet di pos penjagaan pintu kereta. Itu pun mesti kucing-kucingan dengan kepala penjaga. Selesai mandi, menjemur pakaian di pagar pembatas stasiun dengan jalan inspeksi kali antara Jalan Latuharhary dan Jalan Sultan Agung.
Tidak ada kompor minyak apalagi gas untuk memasak. Tuti harus mengumpulkan kayu bakar dari pohon di sekitar stasiun. “Ya masak juga di sini. Makan juga di sini. Kompornya kaya di kampung-kampung,” imbuhnya.
Sehari-hari Tuti menjual kopi di pinggir rel jalan inspeksi. Tuti mengaku punya rumah di Halim, Jakarta Timur. Namun, tinggal bersama keluarga tak membuatnya nyaman.
Stasiun Mampang tak ubahnya seperti stasiun hantu. Peron sisi kiri dari arah Tanah Abang amat kumuh. Kantong plastik sampah menyembul di sudut-sudut. Tembok pun dicoret-coret dengan tulisan ‘FBR (Forum Betawi Rempug)’. Seng-seng di atap peron sudah bolong. Bila hujan tiba air mengucur deras.
Tak seperti namanya, letak stasiun ini bukan di Mampang, melainkan di Jalan Latuharhary, Menteng, Jakarta Pusat. Karena terlalu dekat dengan Stasiun Manggarai, akhirnya stasiun itu tak lagi dioperasikan.
Yayat, 47, warga yang sudah 30 tahun tinggal di pinggir rel bercerita, sudah banyak yang pernah tinggal di eks Stasiun Mampang itu. Pada malam minggu, kadang peron dijadikan lokasi mabuk-mabukan muda-mudi. Kadang, mereka yang tinggal di sana mengaku suami istri.
“Ya, suami-suamian lah gitu. Mereka yang tinggal di sana juga kadang mantan PSK (pekerja seks komersil). Beberapa sudah ada yang tobat,” tuturnya.
Senior Manajer Humas PT Kereta Api Indonesia Daops I Suprapto mengatakan pihaknya berkali-kali menertibkan penggunaan lahan stasiun-stasiun mati di Jakarta, seperti Stasiun Tanjung Priok dan Stasiun Ancol.
“Tapi mirip seperti penertiban PKL. Hari ini ditertibkan, beberapa hari atau minggu lagi pada balik.” Kata Suprapto. (Yanurisa Ananta/J-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved