Headline

Berdenyut lagi sejak M Bloc Space dibuka pada 2019, kini kawasan Blok M makin banyak miliki destinasi favorit anak muda.

Fokus

PSG masih ingin menambah jumlah pemain muda.

70% Gerakan Tanah Terjadi di Jawa

(BY/N-2)
04/10/2018 06:50
70% Gerakan Tanah Terjadi di Jawa
(ANTARA FOTO/Fikri Yusuf)

KEPALA Pusat Vulkanologi Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Kasbani menegaskan pentingnya kesiapsiagaan dalam mengantisipasi pergerak­an tanah.
 
Menurutnya, Indonesia merupakan negara yang rawan pergerakan tanah.

“Dalam kurun waktu 2005-2017, tercatat 1.643 gerakan tanah yang menelan korban jiwa sebanyak 549 orang,” kata Kasbani dalam acara diskusi Kesiapsiagaan dalam Menghadapi Bencana Gerakan Tanah yang digelar PVMBG Badan Geologi di Bandung, kemarin.

Kepadatan penduduk di hampir seluruh wilayah rawan tanah ber­gerak tidak bisa dihindari karena semakin memperburuk keadaan. “70% gerakan tanah terjadi di Pulau Jawa. Sementara itu, kepadatan penduduk semakin tinggi,” lanjutnya.

Oleh karena itu, dia berharap semakin banyak masyarakat dan pemerintah daerah yang sadar akan pentingnya menyesuaikan pembangunan dengan karakteristik tanah. Sebelum membangun, menurutnya, kondisi lahan harus diteliti dulu agar tidak menimbulkan korban ketika bencana. “Pen­tingnya penataan ruang berbasis kebencanaan,” ujarnya.  

Di tempat yang sama, Kepala Subdit Penataan Kawasan Baru, Direktorat Jenderal Tata Ruang Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Budi Santosa, menuturkan, potensi pergerakan tanah lebih besar terjadi di awal musim hujan. “Longsor terjadi akibat resapan air saat musim hujan. Penyebabnya penggundulan hutan,” kata Budi.

Meski begitu, dia memahami tinggi aktivitas manusia saat ini tidak bisa dihindari sehingga perlu ada upaya untuk menyesuaikan aktivitas masyarakat dengan kondisi lahan. Namun, dia menyayangkan saat ini pembangunan sering mengabaikan pendekatan penataan ruang. “Sekarang biasanya pemanfaatan tidak sesuai dengan pola tata ruang.”

Keberadaan bangun­an baik untuk hunian maupun komersial tidak menyesuaikan dengan fungsi kawasan. Seharusnya, lanjut dia, struktur dan pola ruang harus disesuaikan dengan kondisi tanah.

Dia mencontohkan daerah dengan kemiring­an di atas 40% mutlak harus untuk kawasan lindung. Kemiringan 21-40% diperuntukan sebagai kawasan lindung meski tidak mutlak. “Kalau sekarang kan tidak. Rumah-rumah malah berdiri tegak di situ.”

Oleh karena itu, menurut dia, setiap daerah wajib memiliki rencana detail tata ruang (RDTR). “Sekarang RTRW sebagian besar punya, tapi RDTR hanya sebagian kecil yang punya.”



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya