Headline

Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.

Fokus

Kawasan Pegunungan Kendeng kritis akibat penebangan dan penambangan ilegal.

Masjid Cikini, Persinggahan Tokoh Bangsa

Putri Rosmalia Octaviyani
31/5/2018 07:15
Masjid Cikini, Persinggahan Tokoh Bangsa
(DOK. MI/IMMANUEL ANTONIUS)

MASJID berdinding putih dengan kusen dan pagar warna hijau berdiri tegak di tepi Jalan Raden Saleh, Cikini, Jakarta Pusat. Pada tiang bendera yang menjulang di halaman, bendera Merah Putih berkibar tertiup angin.

Masjid Jami Cikini Al Ma'mur bukan tempat ibadah biasa. Masjid itu merupakan salah satu saksi penting dalam pergerakan Islam serta perjuangan pra dan pascakemerdekaan RI. Masjid yang didirikan pada 1932 itu juga menjadi saksi bagaimana budaya gotong royong telah ada dan mendarah daging dalam jiwa masyarakat Indonesia sejak dahulu.

"Dahulu tanah tempat (dibangunnya) masjid itu kepunyaan pelukis Raden Saleh atau Syarif Bustaman. Beliau pada awalnya membeli lahan itu dari tuan tanah Al-Attas," ujar Haji Sjahlani, 70, yang telah puluhan tahun berperan sebagai pengurus Masjid Jami Cikini Al Ma'mur.

Menurutnya, pada sekitar 1840, sebelum masjid jami ini dibangun, di atas tanah milik Raden Saleh itu telah lebih dulu berdiri surau dengan dinding terbuat dari bilik bambu. Surau tersebut menjadi pusat peribadatan warga sekitar.

Namun, karena ingin pindah ke Bogor demi meminang kekasihnya, Raden Saleh memutuskan menjual tanah tersebut kepada seorang perempuan Belanda. Sang pembeli kemudian membangun gereja dan yayasan bernama Emma di lahan tersebut. "Akhirnya surau terpaksa digeser menjadi lebih ke pinggir. Jadi digeserlah kemari, ke tempat berdirinya masjid sekarang. Sebelum dipindah, surau itu berada di seberang anak Sungai Ciliwung itu," kata Sjahlani sambil menunjuk aliran anak Sungai Ciliwung di sekitar masjid.

Tanah seluas 2.650 meter persegi yang sekarang menjadi area masjid merupakan sisa tanah kepunyaan Raden Saleh yang tidak ikut dijual ke Yayasan Emma. Tanah tersebut sengaja diwakafkan Raden Saleh untuk warga sebagai tempat baru bagi surau mereka. "Pada 1890, surau didirikan di lokasi yang baru. Pada saat itu di sekitar Cikini banyak sekali warga negara Belanda," tuturnya.

Warga negara Belanda kerap memanfaatkan jasa penduduk setempat untuk mencuci pakaian. Oleh karena itu, banyak penduduk yang kemudian bekerja sebagai buruh cuci sehingga kemudian kawasan sekitar Masjid Jami Cikini Al Ma'mur disebut sebagai Cikini Binatu.

Seiring dengan waktu, masyarakat Cikini Binatu berkeinginan membuat surau mereka lebih kukuh dan luas. Keinginan itu memicu gagasan warga bergotong royong dan urunan. Setiap hari di tengah keterbatasan mereka, warga menyisihkan sekepal beras hasil kerja sebagai buruh cuci untuk dikumpulkan jadi satu.

"Kemudian berasnya mereka jual. Hasil penjualannya jadi modal utama berdirinya masjid. Mereka urunan untuk beli batu bata, semen, dan kapur sebagai bahan utama bangunan masjid," ujar Sjahlani lagi.

Masjid diresmikan pada 1932 dan merupakan masjid besar pertama di pusat Kota Jakarta sehingga masjid kerap digunakan sebagai tempat pertemuan tokoh-tokoh penting dalam sejarah pra dan pascakemerdekaan RI. Tiga tokoh pergerakan Islam dan pejuang kemerdekaan, yaitu HOS Tjokroaminoto, KH Mas Mansyur, dan KH Agus Salim, ialah sebagian di antara tokoh yang rutin mengadakan pertemuan di masjid tersebut. (H-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Vicky
Berita Lainnya