Headline

Pertemuan dihadiri Dubes AS dan Dubes Tiongkok untuk Malaysia.

Fokus

Penipuan online makin marak menjerat masyarakat.  

Konflik Thailand-Kamboja Reda, Warga Minta Jaminan Keamanan

Ferdian Ananda Majni
29/7/2025 13:43
Konflik Thailand-Kamboja Reda, Warga Minta Jaminan Keamanan
PM Malaysia Anwar Ibrahim menyaksikan kesepakatan damai Kamboja-Thailand (tengah).(Telegram Anwar Ibrahim)

KESEPAKATAN damai antara Thailand dan Kamboja akhirnya tercapai dalam perundingan yang dimediasi oleh Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim, setelah campur tangan Presiden AS Donald Trump dan negosiator dari Tiongkok

Pertemuan tersebut digelar di Malaysia dan menjadi titik balik penting setelah lima hari konflik berdarah.

Namun di tengah proses diplomasi tingkat tinggi, warga sipil seperti Tee Samajanai justru memikirkan hal yang lebih sederhana yakni kembali ke ladang. 

Petani berusia 68 tahun ini duduk bersama istrinya di atas tikar jerami di pengungsian, mengungkapkan harapannya untuk kembali ke kehidupan normal.

"Hal pertama yang akan saya lakukan ketika pulang adalah memeriksa ayam, memupuk padi, dan merawat ladang," kata Tee seperti dilansir CNA, Selasa (29/7).

Dibayangi rasa cemas

Meski begitu, dia masih dibayangi rasa cemas terhadap masa depan. 

"Saya masih ragu Kamboja akan menindaklanjuti apa yang telah mereka sepakati. Kita mungkin pulang, tapi dengan rasa gelisah. Tidak ada ketenangan pikiran. Aku ingin pulang, tapi aku sama sekali tidak percaya Kamboja. Tak seorang pun di desa kita yang percaya," tegasnya.

Sementara itu, di sisi Kamboja, Say Yoeun, petani berusia 55 tahun yang mengungsi di situs kuil Phumi Bak Thkav, menyuarakan perasaan serupa. 

"Saya tidak senang tinggal di tempat seperti ini. Saya rindu rumah dan ternak saya dan saya tidak bisa mengurus sawah saya," ungkapnya.

Jika gencatan senjata bertahan, komandan militer dari kedua negara dijadwalkan bertemu pada Selasa (29/7) pagi untuk membahas proses pemulangan warga dan menghitung dampak kerugian akibat konflik.

Diabaikan oleh pemerintah

Kavindhra Tiamsai, warga Thailand berusia 33 tahun yang mengevakuasi ibunya dari zona pertempuran, menilai bahwa warga perbatasan adalah korban yang diabaikan oleh pemerintah. 

"Gencatan senjata adalah pilihan yang baik, tetapi juga minimal. Yang kita butuhkan adalah rencana yang komprehensif dan membumi yang mencerminkan realitas kehidupan pedesaan," katanya.

Dia menambahkan bahwa evakuasi bukanlah hal mudah bagi warga desa yang tidak memiliki kendaraan, uang atau perlindungan sosial. 

"Seseorang yang tidak menganggap evakuasi itu mudah, atau bahkan mungkin, ketika sebagian besar keluarga tidak memiliki transportasi, tidak punya uang untuk bertahan hidup dan tidak ada jaring pengaman untuk bersandar," lanjutnya.

Peran penting Malaysia

James Chin, profesor Studi Asia dari Universitas Tasmania, mengatakan Malaysia memainkan peran penting sebagai ketua ASEAN saat ini dalam meredakan konflik. 

"Saya pikir sudah jelas bahwa semua pihak, terutama ASEAN, menginginkan gencatan senjata," ujarnya kepada CNA.

Dia juga menyebut bahwa Anwar Ibrahim menjadi sosok yang tepat untuk menjadi mediator. 

"Sudah dipahami secara luas bahwa (dia) menawarkan diri untuk menjadi mediator segera setelah konflik dimulai," tambahnya.

Menurut Chin, mempertahankan gencatan senjata bukanlah tantangan terbesar, melainkan dinamika politik yang kompleks antara kedua negara. 

"Masalah yang lebih besar adalah bagaimana kita akan menyelesaikan perbatasan atau tapal batas dalam jangka panjang? Karena jika dibiarkan begitu saja, potensi konflik dapat pecah di masa mendatang," pungkasnya.

Jadi ini adalah kesempatan emas bagi kedua negara untuk menemukan solusi yang lebih permanen. (Fer/I-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Irvan Sihombing
Berita Lainnya