Headline

Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.

Fokus

Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.

Thailand Punya Perdana Menteri Sehari Pimpin Transisi Kilat

Ferdian Ananda Majni
03/7/2025 06:44
Thailand Punya Perdana Menteri Sehari Pimpin Transisi Kilat
Perdana Menteri sementara Thailand Suriya Jungrungreangkit (tengah) tiba di Gedung Pemerintah di Bangkok, kemarin.(AFP/LILLIAN SUWANRUMPHA)

THAILAND mengalami peralihan kekuasaan yang tak biasa, Rabu (2/7), ketika Suriya Jungrungreangkit menjabat sebagai perdana menteri sementara hanya selama satu hari penuh. Dia menggantikan Paetongtarn Shinawatra yang diskors dari jabatannya sebelum akan digantikan oleh menteri lain dalam perombakan kabinet.

Suriya, yang juga menjabat sebagai menteri transportasi dan wakil perdana menteri, mengawali masa jabatannya dengan mengikuti upacara memperingati hari jadi ke-93 lembaga perdana menteri di Bangkok. Menariknya, dia akan memimpin lembaga ini selama waktu yang jauh lebih singkat dari usia lembaga tersebut yaitu kurang dari 93 jam.

Dalam acara yang terbuka bagi media, Suriya menolak berkomentar soal masa jabatannya yang sangat singkat sebagai puncak karier politiknya selama puluhan tahun. "Urusan paling mendesak saya adalah menandatangani surat untuk memastikan transisi yang lancar kepada pengganti saya pada Kamis (3/7)," katanya seperti dikutip AFP, Rabu (2/7).

Mahkamah Konstitusi mengumumkan pada Selasa (1/7) bahwa Paetongtarn diduga melanggar kode etik menteri dalam kasus sengketa diplomatik dengan Kamboja. Ia diskors sementara menunggu hasil penyelidikan yang bisa memakan waktu berbulan-bulan.

Kehilangan Harapan pada Politik

Paetongtarn, putri dari mantan perdana menteri Thaksin Shinawatra, memimpin Partai Pheu Thai yang berkuasa. Namun kekuasaannya tidak berlangsung lama. 

Sebagai tokoh dari keluarga politik paling berpengaruh di Thailand selama dua dekade terakhir, skorsing ini menambah tekanan terhadap dinasti Shinawatra yang kini dinilai makin melemah.

Sementara itu, Suriya yang berusia 70 tahun--seorang politikus kawakan yang dikenal kerap berpihak pada pemerintah yang sedang berkuasa--menjadi pengganti sementara. 

"Saya tidak begitu mengenal orang itu, tetapi saya tidak peduli lagi siapa yang menjadi perdana menteri," ucap Paitoon Kaewdee, seorang pengemudi ojek berusia 54 tahun. "Saya sudah kehilangan harapan dalam politik Thailand. Dulu saya sangat peduli dengan keluarga Shinawatra, tetapi sekarang semua sama saja," tambahnya.

Masa jabatan Suriya akan berakhir pada hari ini, ketika Phumtham Wechayachai, menteri dalam negeri, dijadwalkan dilantik sebagai perdana menteri baru dalam perombakan kabinet. Phumtham akan mengambil alih karena ia memiliki status wakil perdana menteri dengan urutan suksesi lebih tinggi dari Suriya. Demikian menurut pernyataan resmi Partai Pheu Thai.

Kekacauan Politik Ancam Stabilitas Ekonomi

Perubahan cepat ini menimbulkan kekhawatiran atas ketidakstabilan politik Thailand, terutama dalam konteks hubungan perdagangan luar negeri. "Kekosongan kekuasaan di puncak dapat mengancam upaya Thailand untuk mendapatkan kesepakatan perdagangan dengan AS," kata Gareth Leather, ekonom senior Asia dari Capital Economics.

Dia memperingatkan tentang potensi tarif sebesar 36% dari Presiden Donald Trump. 

"Saya ingin pemilihan umum baru. Negara ini butuh stabilitas," ujar Chatchai Summabut, seorang pegawai kantoran berusia 40 tahun, yang menyuarakan keprihatinan serupa.

Krisis Etika dan Gejolak Koalisi

Sebelum diskors, Paetongtarn menunjuk dirinya sendiri sebagai menteri kebudayaan dalam kabinet baru. 

Dia, Suriya dan Phumtham merupakan tokoh dari Pheu Thai, partai yang sempat berada di posisi kedua dalam pemilu 2023 tetapi berhasil memimpin lewat koalisi rapuh dengan mantan rival dari kubu pro-militer.

Para analis menilai skorsing ini mencerminkan kemerosotan pengaruh keluarga Shinawatra. Meskipun Suriya dianggap loyal, kekuatan politik klan tersebut disebut semakin pudar.

Kondisi makin memanas seiring konflik wilayah lama antara Thailand dan Kamboja yang meningkat. Pada Mei lalu, bentrokan di perbatasan menyebabkan tewasnya seorang tentara Kamboja. 

Dalam panggilan diplomatik yang bocor ke publik, Paetongtarn memanggil mantan pemimpin Kamboja Hun Sen sebagai paman dan menyebut seorang komandan militer Thailand sebagai lawannya, sehingga memicu kritik luas.

Insiden ini menyebabkan satu partai konservatif keluar dari koalisi, dukungan publik terhadapnya anjlok, dan ribuan warga turun ke jalan dalam aksi protes. Anggota parlemen konservatif pun membawa kasus ini ke Mahkamah Konstitusi karena menuduh Paetongtarn melemahkan militer dan melanggar kode etik.

Sementara itu, ayahnya, Thaksin, menjalani hari kedua persidangan atas tuduhan pencemaran nama baik terhadap kerajaan. Ia berpotensi menghadapi hukuman hingga 15 tahun penjara jika terbukti bersalah.

Kini, situasi politik Thailand terus bergejolak dan masa depan dinasti Shinawatra kini benar-benar dipertaruhkan. (I-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya