Headline
Perekonomian tumbuh 5,12% melampaui prediksi banyak kalangan.
Perekonomian tumbuh 5,12% melampaui prediksi banyak kalangan.
PARK Geun-hye, presiden perempuan pertama Korsel, dikenal sebagai sosok pemimpin perempuan yang cukup fenomenal.
Ia muncul sebagai tokoh perempuan yang menonjol di 'Negeri Ginseng', negara yang kurang mengusung kesetaraan gender di antara negara-negara maju.
Sebagai Kepala Negara ke-18 Korsel, Park Geun-hye, 61, masih berdarah politikus.
Ia putri mantan Presiden Park Chung-hee.
Ia resmi menduduki kursi kepresidenan setelah dilantik pada 25 Februari 2013 sehari setelah uji coba nuklir ketiga negara tetangganya, Korea Utara (Korut).
Dalam pidato pelantikannya, Geun-hye berjanji memprioritaskan keamanan nasional dan merevitalisasi ekonomi.
Kepada Korut, dia menawarkan proses untuk membangun kepercayaan langkah demi langkah.
Namun, dia bersumpah untuk tidak menoleransi setiap tindakan yang mengancam keamanan negaranya.
Saat kepemimpinannya memasuki bulan keenam, hubungan Seoul dan Pyongyang relatif stabil.
Bahkan, pembicaraan tentang kemungkinan dimulainya kembali reuni keluarga dan wisata antarkedua Korea ditawarkan kembali.
Suasana 'adem ayem' tak berlangsung lama.
Pada awal Oktober lalu, bersamaan dengan peringatan Hari Angkatan Bersenjata Korsel, Geun-hye justru menggambarkan situasi di Semenanjung Korea sebagai sesuatu yang sangat serius.
Ayah otoriter
Bagaimana pun, Geun-hye tidak bisa begitu saja terlepas dari figur sang ayah, Chung-hee, Presiden ke-3 Korsel, yang memerintah selama dua dekade.
Sebagai putri seorang presiden, dia sudah tidak asing lagi dengan suasana di istana dan kantor kepresidenan.
Saat usianya menginjak 22 tahun, Geun-hye muncul pada pusaran politik yang menjadi sorotan publik.
Ketika itu, ibunya, Yuk Yeong-su, tewas karena tertembus peluru pada 1974.
Yuk Yeng-su menjadi sasaran tembak yang meleset dari agen asal Korut, Mun Se-gwang, yang hendak membunuh ayahnya.
Saat percobaan pembunuhan itu terjadi, Chung-hee sedang berpidato.
Anehnya, dia tetap meneruskan pidatonya tanpa peduli istrinya dalam kondisi kritis.
Chung-hee merebut kekuasaan pemerintah melalui kudeta militer pada 16 Mei 1961.
Pada 26 Oktober 1979, terjadi insiden tak terlupakan.
Ketika itu, Chung-hee sedang berusaha meredakan ketegangan antara Kim Jea-kyu yang menjabat kepala intelijen dan kepala keamanan kepresidenan, Cha Chi-cul.
Sebagai presiden, Chung-hee menggelar jamuan makan malam untuk mendamaikan keduanya.
Alih-alih damai, justru keduanya terlibat perselisihan sengit.
Puncaknya, Jea-kyu menembak kepala sang presiden.
Chung-hee meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakit.
Setelah menembak Presiden Chung-hee, Jea-kyu dijatuhi hukuman gantung bersama lima anak buahnya.
Jea-kyu didakwa dengan tuduhan melakukan pembunuhan dan percobaan kudeta.
Jea-kyu beserta anak buahnya dieksekusi pada 24 Mei 1980.
Kedekatan Geun-hye dan ayahnya serta nasib tragis ibunya disebut menjadi modal untuk dapat mengatasi persoalan pelik yang dihadapi Korsel.
Di sisi lain, jelang Pemilihan Presiden 2012, banyak kaum pria tidak menyukai Geun-hye karena ayahnya seorang tokoh otoriter yang dapat mencederai demokrasi.
Tak mengherankan, untuk menghapus sangkaan itu, Geun-hye pun meminta maaf kepada publik Korsel atas pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan ayahnya. (BBC/Ths/I-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved