​​​​​​​IRFP Soroti Kebebasan Beragama Kelompok Minoritas

Haufan Hasyim Salengke
14/6/2020 15:10
​​​​​​​IRFP Soroti Kebebasan Beragama Kelompok Minoritas
Terpidana dalam kasus zina menjalani hukuman cambuk di Masjid Al Munawarah, Kota Jantho, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, Jumat (5/6)(ANTARA/AMPELSA)

DEPARTEMEN Luar Negeri Amerika Serikat mengeluarkan laporan terbaru Kebebasan Beragama Internasional (International Religious Freedom Report/IRFP) pada Rabu, 10 Juni, waktu setempat.

Dalam laporan mengenai Indonesia setebal 19 halaman, dinyatakan konstitusi RI menjamin kebebasan beragama dan hak untuk beribadah sesuai kepercayaan masing-masing. 

Tetapi rakyat harus menerima pembatasan yang diatur oleh hukum untuk melindungi hak-hak orang lain dan, sebagaimana dicatat dalam konstitusi, untuk memenuhi “tuntutan keadilan berdasarkan pertimbangan moralitas, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam masyarakat yang demokratis”.

Dilaporkan juga masih terjadinya penahanan individu-individu dan divonis hukuman penjara hingga lima tahun karena melanggar aturan hukum tentang penodaan agama.

Di antara kasus yang dilaporkan adalah adalah seorang pria ditahan karena membaca Al-Quran secara tidak hormat dalam sebuah video daring. 

"Di Provinsi Aceh, pihak berwenang masih melaksanakan hukuman cambuk karena melanggar hukum Syariah seperti menjual alkohol, berjudi, dan berselingkuh, termasuk seorang pria beragama Buddha yang menerima hukuman cambuk sebagai pengganti hukuman penjara," bunyi laporan itu.

Lebih lanjut, dilaporkan tentang tindakan sejumlah pemerintah daerah memberlakukan hukum dan peraturan daerah yang membatasi perayaan beragama, seperti peraturan daerah yang menargetkan penganut Syiah atau Ahmadiyah.

Pada Agustus otoritas mengambil tindakan terhadap dua gereja Pantekosta, mencabut izin salah satunya dan menghentikan kegiatan ibadah untuk gereja lainnya.

Baca juga: Protes Global Baru terhadap Kekerasan Polisi dan Rasisme

Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta disorot dalam laporan itu berkenaan dengan aplikasi Smart Pakem untuk mengawasi aliran kepercayaan yang menyimpang di masyarakat dan memungkinkan warga untuk mengajukan laporan penistaan.

Kelompok agama di luar enam agama yang diakui pemerintah--Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, Konghucu, dan Islam (diterjemahkan oleh pemerintah dan masyarakat sebagai Sunni)--seperti penghayat kepercayaan kembali melaporkan kendalah terkait identifikasi agama mereka di kolom KTP. Padahal putusan Mahkamah Konstitusi 2017 memungkinkan mereka untuk mencantumkan kepercayaan mereka.

IRFP 2019 juga menyoroti tindakan pemerintah daerah dan polisi menyetujui tuntutan kelompok, seperti Front Pembela Islam (FPI), Islamic Community Forum (Forum Umat Islam/FUI), Islamic Jihad Front/Front Jihad Islam, dan Indonesian Mujahideen Council/Majelis Mujahidin Indonesia untuk menutup rumah ibadah karena pelanggaran izin atau membatasi hak-hak kelompok agama minoritas.

Dilaporkan bahwa baik pemerintah pusat maupun daerah telah mengakomodasi kelompok-kelompok minoritas dengan memasukkan pejabat terpilih dan ditunjuk dari kalangan tersebut. Presiden Joko Widodo, misalnya, memasukkan enam figur nonmuslim dalam penetapan kabinetnya yang diumumkan 23 Oktober, sama seperti pada pemerintahan sebelumnya.

Retorika anti-Syiah dan anti-Ahmadiyah adalah hal biasa di beberapa media daring dan seterusnya media sosial. Pada Mei, para pemimpin terkemuka dari semua kepercayaan utama di Surabaya berpartisipasi dalam peringatan bom bunuh diri Mei 2018 yang menargetkan tiga gereja.

Di samping itu, laporan tersebut mengungkapkan pada Maret orang-orang tak dikenal merusak makam Yahudi di Jakarta, dan pada April orang yang tidak dikenal merusak salib kayu pada makam seorang kristiani di Mrican, Yogyakarta. (A-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dwi Tupani
Berita Lainnya