Headline
Hakim mestinya menjatuhkan vonis maksimal.
Talenta penerjemah dan agen sastra sebagai promotor ke penerbit global masih sangat sedikit.
SADDAR-UD-DIN telah menunggu jenazah putranya di Rumah Sakit Guru Teg Bahadur (GTB) sejak Senin malam. Putranya yang berusia 32 tahun, Mohammad Furqan, dibunuh oleh gerombolan Hindu di daerah Kardam Puri di timur laut New Delhi, India.
Dia berada di antara lusinan orang yang menunggu, pada Rabu, di luar kamar mayat di rumah sakit GTB untuk menerima mayat kerabat mereka.
Korban tewas pada hari Kamis (5/3) naik menjadi 34 orang dalam kekerasan agama terburuk yang telah melanda ibukota India dalam beberapa dekade. Polisi dituduh berpihak pada Hindu dan melawan Muslim.
Sekitar pukul 15.15 waktu setempat, pada Rabu, tubuh Furqan, yang dibungkus dengan kain kafan, dibawa keluar dengan tandu dan diserahkan kepada keluarganya. “Furqan meninggal pada hari Senin dan sejak itu kami sedang menunggu mayatnya,” kata Din, 64.
Din menduga bahwa putranya, yang bekerja di bisnis kerajinan tangan keluarga di Kardam Puri, ditembak di kaki dan perutnya oleh perusuh Hindu sekitar pukul 16.00 waktu setempat pada Senin, sekitar 150 meter dari rumahnya.
Din, yang juga tinggal di lingkungan kelas pekerja campuran, Kardam Puri, bahwa kekerasan yang terjadi di ibukota mengingatkannya pada kerusuhan anti-Sikh 1984, di mana 3.000 anggota komunitas minoritas Sikh tewas.
“Orang-orang Hindu dan Muslim telah hidup dalam harmoni selama beberapa dekade di daerah itu. Ini seperti 1984 ketika orang-orang Sikh dibantai. Hari ini orang-orang Muslim,” katanya.
RUU Kontroversial
Ribuan orang berdemonstrasi selama berminggu-minggu atas Undang-Undang Kewarganegaraan baru yang kontroversial, yang disahkan oleh pemerintah nasionalis Hindu Narendra Modi. UU itu membuat non-Muslim, bukan Muslim, dari negara-negara tetangga lebih mudah mendapatkan kewarganegaraan India.
Rahul Solanki, 26, ditembak di leher pada Senin malam ketika ia meninggalkan rumahnya untuk berbelanja, kata adiknya, Rohit Solanki, 24, di luar kamar mayat Rumah Sakit GTB.
Ketika tubuh Rahul dibawa keluar dengan tandu dari kamar mayat, empat temannya, termasuk dua wanita, menangis. Mohammad Shahbaz Alam menangis dan memeluk temannya, Vikas, karena merasa kehilangan.
“Kami bukan hanya rekan kerja. Kami semua adalah keluarga,” kata Alam.
“Dalam politik Hindu-Muslim ini, kami kehilangan seorang saudara di Rahul [Solanki],” kata Vikas sambil meneteskan air mata. (Al Jazeera/Nur/I-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved