Headline
Pemerintah merevisi berbagai aturan untuk mempermudah investasi.
Hingga April 2024, total kewajiban pemerintah tercatat mencapai Rp10.269 triliun.
GURU Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana mengutarakan pendapatnya perihal insiden antara KRI Tjiptadi 381 dengan kapal coast guard miliki Vietnam.
Menurutnya, insiden yang terjadi di wilayah Laut Natuna Utara itu lantaran adanya tumpang tindih antara Indonesia dengan Vietnam terkait dengan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).
Hikmahanto menerangkan, ZEE bukan laut teritorial yang berada dibawah kedaulatan negara (state sovereignty) melainkan laut lepas dimana negara pantai mempunyai hak berdaulat (sovereign right) atas sumber daya alam yang ada di dalam kolom laut.
"Hingga saat ini antar kedua negara belum memiliki perjanjian batas ZEE. Akibatnya nelayan Vietnam bisa menangkap di wilayah tumpang tindih dan akan dianggap sebagai penangkapan secara ilegal oleh otoritas Indonesia. Demikian pula sebaliknya," tutur Hikmahanto dalam keterangan resminya, Senin (29/4).
Baca juga: Indonesia Layangkan Protes ke Vietnam
Klaim dari kedua Negara, baik Indonesia maupun Vietnam atas hak untuk mengambil sumber daya alam di laut itu menjadi titik permasalahannya. Hal itu dikarenakan keduanya menyatakan diri berwenang.
Beruntung, kata Hikmahanto, awak KRI Tjiptadi 381 tidak terprovokasi untuk memuntahkan peluru. Pasalnya, dalam hukum internasional terlepas dari siapa yang benar atau yang salah, pihak yang memuntahkan peluru terlebih dahulu akan dianggap melakukan tindakan agresi.
Untuk mencegah insiden serupa terjadi, pemerintah yang memiliki klaim tumpang tindih harus membuat aturan-aturan bila otoritas saling berhadapan (rules of engagement). Sayangnya aturan seperti demikian belum ada diantara negara ASEAN yang memiliki klaim tumpang tindih.
"Dalam insiden ini Pemerintah Indonesia melalui Kemlu.dapat melakukan protes dengan cara memanggil Duta Besar Vietnam. Protes bukan atas pelanggaran masuknya kapal nelayan dan kapal otoritas Vietnam ke ZEE Indonesia mengingat wilayah tersebut masih disengketakan. Protes dilakukan atas cara kapal coast guard Vietnam yang hendak menghentikan KRI Tjiptadi 381 dengan cara penabrakan," jelas Hikmahanto.
Penyelesaian atas insiden ini harusnya bisa diselesaikan secara diplomatik kedua negara tanpa harus membawanya ke lembaga peradilan internasional. Hal yang menjadi alasan agar tidak membawa insiden ini ke lembaga peradilan internasional diantaranya soal biaya yang harus dikeluarkan.
Kemudian duanegara yang bersengketa harus menyetujui untuk membawa ke Lembaga Peradilan Internasional. "Terakhir, antar negara ASEAN sudah seharusnya penyelesaian sengketa mengedepankan cara-cara musyawarah untuk mufakat," tutup Hikmahanto. (OL-4)
Tindakan kapal dinas perikanan Vietnam sangat membahayakan keselamatan personnel KRI TPD-381 dan juga personnel kapal Vietnam, serta tidak sejalan dengan hukum internasional.
“Kita harus mampu menjadikan lautan sebagai a sea of cooperation, bukan a sea of confrontation,” kata Presiden Jokowi
RRT ialah salah satu mitra strategis Indonesia di kawasan dan kewajiban kedua belah pihak untuk terus saling menghormati.
Empat kapal asal Vietnam yang melakukan pencurian ikan dimusnahkan,
enam kapal ikan Indonesia yang dinilai melanggar ketentuan di WPPNRI 712 Laut Jawa dan di WPPNRI 573 Teluk Kupang juga diringkus KKP.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved