LASSANA Bathily berasal dari Mali dan bekerja sebagai penjaga toko di Paris, Prancis, setidaknya hingga 9 Januari tahun lalu. Ya, Bathily seorang migran. Lebih parah lagi, ilegal. Dia pergi dari Mali sejak berusia 16 tahun untuk bekerja di Paris.
Kejadian pada tahun lalu, dua hari berselang setelah insiden penyerangan di kantor redaksi tabloid Charlie Hebdo di Paris, tidak akan pernah dilupa Bathily. Saat itu, laki-laki muslim berusia 25 tahun itu tengah mengepak barang-barang di ruang bawah tanah di supermarket Yahudi Hyper Cacher tempat dia bekerja. Sifnya hampir tuntas. Saat itu pula Amedy Coulibaly yang mengaku bagian dari kelompok ekstremis Islamic State masuk dan menyerang toko.
Si penyerang mulai menembak lantas menyandera beberapa pelanggan yang tengah berbelanja. Beberapa orang sempat melarikan diri dari ruangan toko dan menuju ruang bawah tanah tempat Bathily berada.
Sontak Bathily sadar ada kejadian buruk yang sedang terjadi. Dia memberanikan diri mengambil tindakan. Bathily memimpin orang-orang yang berkumpul di ruang bawah tanah bersama dia dan menggiring mereka keluar toko melalui lift dan pintu darurat. "Jantung saya berdegup sangat kencang. Sama seperti yang lain, saya pun takut saat itu," ujarnya.
Setelah dapat membawa orang-orang ke luar toko, Bathily membantu petugas keamanan menggambarkan situasi supermarket untuk menyiapkan penyergapan. Beberapa jam kemudian, penyerang dapat dilumpuhkan. Empat orang tewas dalam tragedi tersebut.
Berkat aksi yang digadang heroik itu, beberapa hari setelah tragedi itu Bathily dihadiahi kewarganegaraan oleh pemerintah Prancis. "Inilah warga Prancis favorit saya," ucap Presiden Francois Hollande saat menerima Bathily di Istana Elysee, dua pekan setelah penyerangan.
Bathily gembira bukan main saat diresmikan sebagai warga negara Prancis. "Ini impian saya sejak kecil," tuturnya. Namun, ia kerap menegaskan dirinya bukanlah pahlawan seperti yang digembar-gemborkan. "Saya hanya melakukan apa yang memang harus dilakukan.
"Setelah insiden itu, Bathily sempat kembali ke Mali dan disambut hangat langsung oleh Presiden Mali Ibrahim Boubacar Keita. Bathily lantas membentuk lembaga bantuan untuk menyediakan kebutuhan dasar di kampung asalnya.
Pemberitaan yang marak tentang aksi heroiknya juga menjadi berkah buat Bathily. Dia diberikan tempat tinggal juga pekerjaan baru di Balai Kota Paris. Bathily juga berkuliah dan bercita-cita menjadi guru. "Saya meneruskan saja apa yang sudah saya lakukan selama ini. Kita mesti menunjukkan solidaritas, mesti bersatu, karena saya yakin dunia ini masih punya harapan," kata Bathily.