Headline
Hakim mestinya menjatuhkan vonis maksimal.
Talenta penerjemah dan agen sastra sebagai promotor ke penerbit global masih sangat sedikit.
SAAT memasuki ruangan badan pengawas hakim Mahkamah Agung (MA) di Cempaka Putih, Jakarta, tampak beberapa meja yang tersusun rapi. Sekitar 15 hakim berbagi meja di ruangan itu.
Tidak ada barang pribadi yang terpasang di meja. Hanya ada laptop dan berkas, serta sebagian meja saja yang tersedia printer. Di salah satu meja itu, Sunoto sibuk mengetik di laptopnya. Ia merupakan salah satu hakim yustisial dari badan pengawasan MA. Sebelum dimutasi ke posisinya saat ini, pria kelahiran Pati, 14 Januari 1981, itu telah menjadi hakim di beberapa pengadilan negeri (PN), seperti di Liwa, Lampung Barat, Desember 2006-Juni 2009; PN Kuala Simpang, Aceh Tamiang, Juli 2009-Januari 2013; PN Stabat, Sumatra Utara, Februari 2013-April 2016; dan PN Jepara, Jawa Tengah, Mei 2016-Oktober 2016. Sejak November tahun lalu, ia menjadi hakim yustisial.
Selama menjabat hakim, ia sadar pasti akan ada pihak yang terjerat kasus berupaya menyuapnya. Namun, Sunoto tetap ingin menjaga kredibilitas dan integritasnya. Caranya dengan memperkuat ilmu agama dan menjauhi gaya hidup mewah.
“Ketika seorang hakim bisa menjaga agamanya dengan baik dan tidak mengikuti pola gaya hidup mewah, saya kira dia bisa menjadi hakim yang bersih dan punya integritas,” ujarnya saat ditemui Media Indonesia di kantornya, Rabu (22/2).
Sejak menerima tugas pertama sebagai hakim, Sunoto memberikan sikap tegas. “Penugasan pertama yang menetukan apakah dia sebagai hakim yang bersih yang menolak pemberian uang atau tidak, atau bersikap abu-abu, maksudnya bisa menerima bisa tidak. Ketika kemudian saya mengatakan tidak mau bersentuhan dengan pihak yang beperkara atau menolak pemberian dari pihak beperkara, sejak itulah orang-orang sekeliling kita bekerja mengetahui hakim ini sudah punya integritas,” lanjutnya.
Berbicara tentang gaya hidup, Sunoto masih memilih tinggal di rumah dinas di Kampung Rambutan. Ia pun harus tinggal terpisah dengan keluarganya yang berada di Rembang, Jawa Tengah. Pria yang sudah berangkat jam 6 pagi dari rumah dinasnya dan pulang pascamagrib itu memilih menjaga gaya hidupnya. Saat ini Sunoto menerima gaji dan remunerasi Rp17 juta. Meski begitu, ia sadar masih ada beberapa hakim yang tidak mendapatkan fasilitas seperti yang ia peroleh.
Terpisah
Permasalahan lainnya ialah para hakim sering ditugaskan jauh dari keluarga sehingga akan mengeluarkan biaya pribadi lagi untuk dapat berkumpul dengan keluarga.
“Biasanya juga hakim ini ditempatkan di seluruh Indonesia, keadaan jauh dari keluarga menyebabkan seorang hakim mengeluarkan biaya lagi untuk perjalanan dan ini yang biasanya turut mengurangi pendapatan tadi. Saya kira dengan gaji sebesar itu sebenarnya sudah bisa hidup dengan cukup jika dibandingkan dengan pegawai di kementerian lain atau BUMN,” imbuh Sunoto.
Nasib terpisah dengan keluarga juga dialami hakim Andi Muhammad Yusuf Bakri. Salah satu hakim yustisial di badan pengawas MA itu sejak menikah dan mendapatkan penugasan harus terpisah dari istrinya yang seorang dosen. Istrinya berada di Makassar, Sulawesi Selatan.
Namun, Andi mengaku sangat menikmati profesinya sebagai hakim meskipun digaji berapa pun oleh negara.
“Saya enjoy dengan pekerjaan ini. Pekerjaan ini memberikan saya kemerdekaan yang sesungguhnya sebagai manusia. Saya bebas menyatakan yang benar itu benar dan yang salah itu salah menurut hasil akhir dan hasil proses pemikiran saya. Pekerjaan lain belum tentu seperti ini,” papar pria kelahiran Pare Pare 6 Agustus 1979 itu yang memilih tinggal di mes pengadilan selama di Jakarta karena lebih dekat ke tempat tugasnya. Meski di mes tersebut ia harus berbagi kamar dengan rekannya sesama hakim lain.
Menurut Andi, ekspektasi masyarakat terhadap hakim masih tinggi. “Benteng terakhir kita adalah hakim. Jika badan eksekutif dan legislatif itu melakukan pelanggaran, negara ini akan goyang. Akan tetapi, jika hakim (yudikatif) ini sudah rusak, bisa tumbang negara ini,” imbuhnya.
Sementara itu, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati setuju kesejahteraan hakim harus ditingkatkan. Namun, permasalahan di dunia peradilan saat ini tidak semata-mata karena remunerasi, tetapi jauh lebih kompleks yang meliputi sistem perekrutan, promosi, dan mutasi yang kurang adil.
“Menurut saya, sistem promosi, mutasi, dan rekrutmen itu harus fair sehingga hakim-hakim yang baik, yang pintar itu, akan naik menjadi yang pucuk. Sekarang kan tidak, semuanya tergantung dia bawaan siapa,” papar Asfinawati kepada Media Indonesia, Kamis (23/2).
Asfinawati mengaku di lapangan pun dia kerap menemui hakim-hakim yang menjalankan tugas tidak sesuai dengan kode etik. “Kalau hakim yang nakal pernah bertemu. Kode etik mengatakan hakim tidak boleh berpihak dan harus netral, tidak boleh menunjukkan perilaku bahwa terdakwa sudah bersalah, tapi dalam pengalaman saya hal-hal itu kelihatan. Misalnya dalam kasus serikat buruh melawan pengusaha dikriminalkan, kita merasa kenapa kalau terdakwa kita ditekan terus, saksi-saksi ditekan, sedangkan saksi mereka (pengusaha) kalau ketahuan bohong dibiarkan atau dalam kasus penodaan agama juga seperti itu. Namun, ada juga hakim yang cukup baik dari putusan-putusannya baik di Mahkamah Agung maupun di pengadilan negeri,” jelasnya.
Lebih lanjut, dia memaparkan perlu pengawasan eksternal bagi para hakim. Selain itu, sistem peradilan di Indonesia harus dikaji ulang guna membenahi sistem peradilan yang menurutnya sudah dalam kondisi darurat.
“Kondisi (peradilan) saat ini sudah sangat darurat. Karena ini sebetulnya adalah garda terakhir kita yang ujungnya adalah pengadilan dan Mahkamah Agung. Kalau di sana saja sudah hancur, putus sudah harapan kita,” pungkasnya. (M-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved