Headline
Perekonomian tumbuh 5,12% melampaui prediksi banyak kalangan.
Perekonomian tumbuh 5,12% melampaui prediksi banyak kalangan.
MENCUATNYA rencana standardisasi bagi khatib bukan kehendak pemerintah khususnya Kementerian Agama (Kemenag), melainkan berdasarkan masukan dan aspirasi masyarakat khususnya para ulama yang di antaranya tergabung dalam Ikatan Dai Indonesia (Ikadi).
“Kami menangkap aspirasi dari sejumlah ulama di antaranya dari Ikadi yang menghadap Menteri Agama pada Desember 2016. Mereka memberi masukan adanya penceramah di masyarakat terutama khatib salat Jumat yang memunculkan ujaran kebencian dan menjelekkan kelompok masyarakat,” kata Kepala Pusat Informasi dan Humas (Kapinmas) Kemenag, Mastuki, saat dihubungi Media Indonesia, kemarin.
Selain itu, tambah Mastuki, ada juga laporan dari berbagai masyarakat tentang hal tersebut. “Nah, berdasarkan hal itulah pihak Kemenag mewacanakan standardisasi khatib,’’ imbuhnya.
Ia menjelaskan Menteri Agama Lukman Hakim Saefuddin juga mendapat masukan dari masyarakat melalui media sosial tentang keluhan adanya ujaran kebencian dalam pelaksanan khotbah. Hal itu yang mendasari Kemenag mengumpulkan elemen ormas Islam untuk membahas masalah tersebut. “Maka lahirlah rencana standardisasi khatib. Ini bukan sertifikasi khatib seperti ramai menjadi polemik,” ujarnya.
Maksud dari standardisasi, jelas Mastuki, ialah memberikan kriteria kualifikasi atau kompetensi minimal yang harus dimiliki seorang khatib Jumat agar khotbah disampaikan ahlinya, serta sesuai syarat dan rukunnya. Dalam praktiknya, standardisasi juga tidak akan dirumuskan Kementerian Agama karena hal itu menjadi domain ulama.
“Hanya ulamalah yang memiliki otoritas, kewenangan, memberikan standar, batasan kompetensi apa yang harus dipenuhi khatib dalam menyampaikan khotbah Jumat. Penentuan standardisasi seorang khatib sepenuhnya kompetensi ulama, bukan domain Kemenag. Kemenag hanya sebagai fasilitator,’’ imbuhnya.
Terkait dengan itu, lanjut Mastuki, saat ini Kemenag masih menjaring aspirasi dan masukan dari masyarakat. Akhir Januari lalu, Kemenag mengundang para tokoh dari MUI, NU, Muhammadiyah, ormas Islam, dan beberapa fakultas dakwah untuk duduk bersama menyerap aspirasi.
Diperlukan
Wakil Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia (DMI) KH Masdar F Masudi menyatakan upaya standardisasi khatib diperlukan dan masuk akal. Namun, ia mengakui hal tersebut tidak mudah dilakukan karena keberadaan khatib yang bersifat individual.
‘’Tidak ada organisasi atau pihak otoritas yang mengikat mereka. Sepenuhnya ditentukan hukum pasar, supply dan demand masyarakat pengguna. Sehingga jika masalahnya ada di antara mereka yang berkhotbah dengan konten ujaran kebencian atau fitnah maka pihak pengundang atau komunitas pendengar yang mem-blacklist-nya,” tegas Masdar.
Dikatakannya, jika ada khatib yang hobi menebar kebencian dan menis-ta orang lain hanya karena berbeda paham atau pilihan politik, bisa saja di antara jemaah melaporkan khatib tersebut kepada pihak yang berwajib.
Menyinggung pentingnya para khatib dibekali wawasan kebangsaan, Masdar berpendapat pemerintah, Kemenag, dan pemda mesti bersinergi dengan kepolisian melakukan prog-ram pembinaan atau pencerahan. (H-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved