Headline
KPK akan telusuri pemerasan di Kemenaker sejak 2019.
CINTA kerap digambarkan sebagai perasaan yang mempesona dan sarat emosi. Namun, sensasi tersebut tidak hanya bersifat puitis, melainkan juga memiliki dasar ilmiah.
Saat seseorang jatuh cinta atau menjalin kedekatan emosional dengan orang lain. Otak melepaskan sejumlah neurotransmitter dan hormon yang memengaruhi perasaan, perilaku, dan proses pengambilan keputusan. Hal inilah yang disebut dengan farmakologi cinta.
Dikenal sebagai feel-good neurotransmitter karena berperan penting dalam sistem penghargaan otak. Ketika seseorang jatuh cinta, kadar dopamin meningkat signifikan, hal ini memainkan peran yang sangat penting dalam perasaan kenikmatan, motivasi, dan penguatan.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa efek dopamin ini mirip dengan sensasi euforia akibat penggunaan zat adiktif tertentu.
DIsebut sebagai bonding hormone, oksitosin dilepaskan saat terjadi interaksi fisik atau emosional, seperti berpelukan, berciuman, dan aktivitas seksual.
Hormon ini membantu memperkuat ikatan emosional, menumbuhkan rasa percaya, serta berperan penting dalam membentuk hubungan jangka panjang dengan pasangan, keluarga, maupun sahabat.
Serotonin memiliki peran besar dalam mengatur suasana hati dan stabilitas emosi. Pada tahap awal jatuh cinta, kadar serotonin justru cenderung menurun.
Penelitian menemukan bahwa kondisi ini serupa dengan yang dialami penderita gangguan obesesif-kompulsif (OCD), yang dapat menjelaskan mengapa seseorang cenderung terus memikirkan orang yang disukainya. Dalam hubungan jangka panjang, serotonin membantu menjaga keseimbangan emosi dan kestabilan psikologis.
Hormon ini berperan dalam meningkatkan kewaspadaan dan energi. Berama dopamin, hormon ini menstimulasi sistem “reward circuit” di otak, menimbulkan perasaan gembira dan bersemangat saat bersama orang yang disukai.
Beberapa penelitian pencitraan otak menunjukkan bahwa prefrontal cortex, yang berfungsi menilai risiko dan membuat keputusan rasional, menjadi kurang aktif saat seseorang jatuh cinta. Penurunan aktivitas ini memengaruhi kemampuan pengambilan keputusan secara rasional. Kondisi ini membuat orang lebih cenderung bersikap impulsif dan emosional.
Jika jatuh cinta dapat memicu rasa euforia, patah hati memberikan efek sebaliknya. Penurunan drastis kadar dopamin dan oksitosin dapat menimbulkan rasa kehilangan, kecemasan, dan ketidakstabilan emosi. Selain itu, hormon stres seperti kortisol ikut meningkat, yang dapat memengaruhi kondisi fisik dan psikologi seseorang.
Kondisi ini disebut para ahli sebagai gejala withdrawal pada kecanduan. Pasalnya otak kehilangan sumber “penghargaan” yang sebelumnya diperoleh dari orang yang disukai.
William, dengan pengalaman ditinggalkan oleh suaminya mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada tubuh seseorang ketika sedang patah hati. Dari yang ia temukan, rasa sakit akibat patah hati itu nyata dan bisa memengaruhi tubuh, sama seriusnya dengan sakit gigi atau patah tulang.
William menjelaskan bahwa saat mengalami patah hati, tubuh bereaksi seolah berada dalam situasi bahaya. Reaksi ini dapat meliputi sesak napas, perut sakit, munculnya jerawat, sulit tidur, dan bahkan kondisi medis yang dikenal sebagai sindrom patah hati.
Setelah mengetahui kondisi ilmiah yang terjadi pada tubuh saat jatuh cinta dan patah hati. Perlu disadari kembali cinta merupakan fenomena yang sangat kompleks, berbeda-beda pada setiap individu, dan dapat muncul dalam berbagai bentuk serta perjalanan yang beragam.
Namun, ketika seseorang memahami mekanisme hormonal di balik cinta, hal itu dapat membantu dalam pengembangan hubungan untuk pasangan yang mengalami kesulitan dalam hubungan. (teenVOGUE/Pacific Neuroscience Institute/verywellhealth/Z-2)
Ikatan emosional antara ibu dan bayi sudah mulai terbentuk sejak bayi berada dalam kandungan. Proses ini semakin kuat ketika ibu pertama kali memeluk dan menggendong setelah persalinan
Kesehatan mental yang baik berawal dari kebiasaan kecil, termasuk apa yang Anda konsumsi setiap hari. Tahukah Anda bahwa makanan tertentu mampu meningkatkan mood secara alami?
Jumlah kasus parkinson meningkat dua kali lipat dalam 25 tahun terakhir. Perkiraan global pada tahun 2019 menunjukkan lebih dari 8,5 juta orang menderita PD (parkinson disease).
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved