Headline

Pemerintah belum memastikan reshuffle Noel.

Kontroversi Ganja, Antara Manfaat Medis atau Pemicu Kanker

Bimo Aria Seno
22/8/2025 10:02
Kontroversi Ganja, Antara Manfaat Medis atau Pemicu Kanker
Ilustrasi(Freepik)

ISU tentang ganja tidak terlepas dari persoalan pro dan kontra. Sejumlah negara, seperti Amerika Serikat (AS) dan Thailand telah melegalkan ganja untuk keperluan medis. Sementara itu, sejumlah penelitian juga menunjukkan efek negatif dari tanaman ini. 

Menurut penelitian terbaru, senyawa kimia yang terkandung di dalam ganja tidak sepenuhnya aman bagi paru-paru. Penggunaan ganja yang berlebihan memiliki risiko terkena beberapa jenis kanker, termasuk kanker kepala dan leher. 

Asap ganja memiliki kandungan kompleks yang terdiri dari tetrahydrocannabinol (THC) yang menciptakan efek euforia, partikel halus, serta zat karsinogen yang juga terdapat dalam tembakau. Namun, senyawa cannabinoid dalam ganja secara tersembunyi memiliki efek yang dapat mengubah fungsi sistem kekebalan di paru-paru.

Raphael Cuomo, ilmuwan dari University of California, San Diego, mengungkapkan penggunaan ganja dapat melemahkan lapisan pelindung saluran pernapasan, mengganggu sinyal antivirus, dan memicu peradangan. 

Sejumlah penelitian mendukung hal ini. Studi pada tikus menunjukkan bahwa asap ganja menurunkan kemampuan tubuh melawan tumor dan infeksi. Selain itu, THC meredam efek imunoterapi dan melemahkan sel-sel kekebalan tubuh yang seharusnya membunuh tumor.

Lebih lanjut, asap ganja juga dapat mengganggu kerja enzim pemelihara jaringan dan mematikan gen yang berfungsi merespon toksin. 

Selain itu ganja juga memicu perubahan lain pada sistem kekebalan tubuh, menurut studi pada manusia, sel, dan tikus laboratorium. Penggunaan ganja secara rutin dapat meningkatkan protein pemicu peradangan di saluran pernapasan. 

Secara ringkas, “Asap ganja, dari produk toksiknya hingga THC dapat menyebabkan iritasi paru-paru dan melemahkan sistem kekebalan tubuh,” kata Sayantan Bhattacharyya, seorang ahli biologi sistem kanker yang telah meneliti dampak molekuler ganja, kepada Live Science. 

Asap ganja juga mampu memengaruhi mekanisme seluler yang lebih dalam, yaitu saklar molekuler yang digunakan oleh sel kanker untuk tumbuh dan menyebar.

Di antara mekanisme tersebut, sedikit yang sepopuler reseptor faktor pertumbuhan epidermal (EGFR). 

Dalam penelitiannya terhadap 83 pria penderita kanker glotis, Bhattacharyya menemukan bahwa perokok ganja memiliki tingkat aktivasi EGFR dan protein pemicu kanker lainnya yang jauh lebih tinggi dibandingkan perokok tembakau atau nonperokok. Meskipun temuannya signifikan, penelitian Bhattacharyya masih terbatas pada 83 orang dengan satu jenis kanker, sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui hasil yang lebih luas.

Meski riset di laboratorium menunjukkan adanya potensi yang berbahaya, tapi temuan dari studi di lapangan mengenai ganja masih beragam. Beberapa penelitian mengaitkan penggunaan ganja dengan peningkatan risiko kanker, sementara penelitian lain tidak menemukan keterkaitan yang kuat. 

Meski demikian, Cuomo menegaskan bahwa penggunaan jangka panjang kemungkinan tetap menambah risiko kanker, berdasarkan bukti yang tersedia saat ini.

Bagi para penderita kanker, Cuomo menunjukkan konsumsi ganja tidak berhubungan dengan peningkatan risiko kematian dini, sebuah teka-teki yang disebut sebagai “paradoks Cuomo” oleh para peneliti. 

Bahkan, sejumlah penelitian menunjukkan ganja mampu meningkatkan nafsu makan dan meredakan mual akibat kemoterapi, meskipun asapnya berpotensi membawa zat kimia serta memicu perubahan sel yang berisiko.

Tantangan utama ke depan adalah bagaimana menimbang secara tepat baik antara manfaat dan dampak negatif dari ganja agar dapat diperbandingkan satu sama lain. (livescience.com/Z-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya