Headline
Berdenyut lagi sejak M Bloc Space dibuka pada 2019, kini kawasan Blok M makin banyak miliki destinasi favorit anak muda.
Berdenyut lagi sejak M Bloc Space dibuka pada 2019, kini kawasan Blok M makin banyak miliki destinasi favorit anak muda.
PENGGUNAAN gelas kertas menjadi paradoks di tengah meningkatnya kesadaran akan dampak lingkungan, sebagai alternatif populer untuk menggantikan plastik sekali pakai. Setiap hari, jutaan orang beralih ke gelas kertas, yang dianggap sebagai simbol gerakan "euforia hijau". Namun, di balik popularitasnya, terdapat paradoks yang perlu dicermati lebih dalam.
Akademisi Prodi Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Sains dan Teknologi, Universitas Warmadewa, I Nengah Muliarta mengungkapkan gelas kertas sering dipandang sebagai solusi ramah lingkungan, menawarkan harapan untuk mengurangi limbah plastik yang mencemari lingkungan.
"Konsumen berbondong-bondong beralih dari gelas plastik ke gelas kertas, percaya bahwa langkah kecil ini akan membuat perbedaan besar," kata Muliarta saat ditemui di Denpasar pada Sabtu (19/4).
Muliarta menjelaskan, meskipun gelas kertas terbuat dari bahan yang dapat terurai, proses produksinya memerlukan bahan baku signifikan, termasuk kayu, air, dan energi. Proses pembuatan yang intensif ini mengurangi sumber daya alam dan berkontribusi pada deforestasi. Banyak gelas kertas juga dilapisi dengan polimer plastik untuk menjaga ketahanan dan mencegah kebocoran, yang membuatnya sulit untuk didaur ulang.
Muliarta menyebutkan sebuah penelitian berjudul “Microplastics and Other Harmful Substances Released from Disposable Paper Cups into Hot Water” yang dipublikasikan pada jurnal Journal of Hazardous Materials tahun 2021 menyebutkan bahwa gelas kertas sekali pakai dengan film hidrofobik yang terbuat dari plastik (polietilen) atau kopolimer dapat melepaskan mikroplastik, ion, dan logam berat ke dalam air panas, yang berpotensi menimbulkan risiko kesehatan.
Hasil penelitian lainnya yang ditulis dalam artikel berjudul “Nanoplastics from Disposable Paper Cups and Microwavable Food Containers” dan dipublikasikan di Journal of Hazardous Materials tahun 2024 mengungkapkan bahwa gelas kertas sekali pakai berlapis low-density polyethylene (LDPE) melepaskan hingga 26 kali lebih banyak nanoplastik daripada gelas yang dilapisi polylactic acid (PLA).
Temuan ini menimbulkan pertanyaan serius tentang apakah euforia hijau yang diharapkan justru menciptakan lebih banyak limbah daripada yang ingin dikurangi. Penggunaan gelas kertas yang berlebihan dapat mengaburkan tujuan awal pengurangan sampah plastik.
Muliarta juga menyoroti perilaku konsumen yang sering kali merasa bahwa penggunaan gelas kertas adalah tindakan sepenuhnya ramah lingkungan. "Euforia hijau ini menciptakan ilusi bahwa kita dapat menggunakan gelas kertas secara berlebihan tanpa dampak negatif," jelasnya.
Guna mencapai keberlanjutan yang sejati, katanya, diperlukan inovasi dalam teknologi daur ulang dan peningkatan kesadaran tentang praktik keberlanjutan. Masyarakat perlu dididik tentang dampak lingkungan dari semua jenis kemasan. Selain itu, Muliarta merekomendasikan penggunaan gelas yang dapat digunakan kembali, seperti gelas stainless steel atau kaca, yang menawarkan solusi lebih berkelanjutan dalam jangka panjang.
Pemerintah juga memiliki peran penting dalam mendorong perubahan melalui kebijakan yang mendukung keberlanjutan. Penerapan pajak pada produk sekali pakai dan insentif bagi perusahaan yang menggunakan kemasan ramah lingkungan dapat menciptakan permintaan yang lebih tinggi untuk produk yang lebih berkelanjutan.
Paradoks gelas kertas ini mengingatkan bahwa mencari solusi untuk masalah lingkungan memerlukan kehati-hatian agar tidak terjebak dalam euforia yang menyesatkan. Euforia hijau bukan sekadar tren, tetapi panggilan untuk bertindak secara bijaksana. Memahami kompleksitas yang ada memungkinkan langkah-langkah lebih efektif dalam melindungi planet.
“Dengan langkah-langkah yang tepat dan kesadaran yang lebih besar, masa depan lingkungan dapat lebih berkelanjutan, memastikan bahwa kita tidak hanya beralih dari satu masalah ke masalah lainnya,” papar mantan jurnalis VoA ini. (H-2)
PT Bank Negara Indonesia (BNI) terus menunjukkan komitmennya sebagai lembaga keuangan berkelanjutan di Indonesia.
Dari data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Tahun 2024, Indonesia sendiri menyumbang hampir 34 juta ton sampah.
Nah, itulah yang kita lakukan di Savyavasa. Jadi luxury bukan dari apa yang kita lihat, tapi orang bisa merasakan.
Pameran ini menjadi momen strategis bagi perusahaan guna memperkuat peran mendorong industri nasional menuju keberlanjutan.
SETIAP aktivitas mencuci pakaian berdampak langsung terhadap lingkungan, mulai dari penggunaan air, listrik, hingga limbah yang dihasilkan.
Jadi terhadap sumber daya yang digunakan dan juga berorientasi pada siklus hidup serta menerapkan disain pasif maupun disain aktif.
Kelola limbah domestik dengan efektif! Panduan praktis pengelolaan sampah rumah tangga untuk lingkungan bersih dan sehat.
Temukan contoh limbah keras organik! Pelajari cara pengelolaan sampah efektif dan ramah lingkungan untuk bumi yang lestari.
Aglomerasi: Kunci pengembangan wilayah! Pelajari konsep, manfaat, dan strategi implementasinya untuk pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.
Kelola limbah organik dengan bijak! Daur ulang jadi kompos, energi, atau pakan ternak. Solusi ramah lingkungan untuk bumi lestari.
Pelajari perbedaan energi terbarukan & tak terbarukan. Temukan sumber energi berkelanjutan untuk masa depan bumi yang lebih baik!
Cari tahu penyebab pencemaran lingkungan! Pelajari faktor-faktor utama yang memengaruhi kualitas alam dan dampaknya bagi kehidupan.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved