Headline

Perekonomian tumbuh 5,12% melampaui prediksi banyak kalangan.

Ketegasan di Dua Arena

Hera Khaerani
03/11/2016 08:10
Ketegasan di Dua Arena
(MI/SUSANTO)

WAJAH Ajun Komisaris Besar (AKB) Pergunan Tarigan, 54, tiba-tiba tersipu. Senin (24/10) sore itu, di ruang kantornya di Mabes Polri, Pergunan tampak malu-malu mengungkapkan perasaannya dipercaya menjadi wasit angkat besi di berbagai kejuaraan bergengsi. Ia bahkan telah lima kali menjadi wasit di ajang Olimpiade. Teranyar ialah di Olimpiade 2016, di saat Pergunan menjadi satu-satunya wasit dari Indonesia di nomor tersebut. "Ada rasa bangga saat nama saya dipanggil, Pergunan Tarigan-Indonesia. Rasanya senang marga saya Tarigan digaungkan ke dunia," kata Pergunan kemudian mengakui kebanggaannya kepada Media Indonesia.

Kebanggaan memang wajar dirasakan perempuan berusia 54 tahun itu. Prestasi menjadi wasit Olimpiade ialah buah ketekunan panjangnya di dunia olahraga. Unan, demikian ia akrab disapa, telah menjadi atlet jauh sebelum menjadi polisi. Perempuan kelahiran Kabanjahe, Sumatra Utara, itu awalnya menekuni cabang olahraga atletik dengan menjadi atlet lempar cakram dan tolak peluru untuk tanah kelahirannya tersebut. Ia kemudian menyeberang ke angkat besi seiring dengan mulai digelarnya kompetisi dunia untuk angkat besi perempuan. Perubahan itu mendorong negara-negara untuk membuka pembinaan atlet perempuan di olahraga tersebut.

Pergunan mudah saja masuk ke radar pencarian atlet angkat besi karena prinsip-prinsip olahraga itu telah jadi bagian latihannya. Sebagai atlet lempar cakram, angkat beban pun menjadi salah satu bentuk latihannya. "Kekuatan mengangkat beban itu berbanding lurus dengan kekuatan melempar, jadi yang belum saya tahu saat itu paling teknik-tekniknya," jelasnya. Beruntung, Pergunan juga tidak pernah mendapat larangan dari keluarganya meskipun banyak mitos soal dampak buruk angkat besi bagi kesehatan perempuan. "Banyak yang bilang nanti tidak bisa hamil kalau angkat beban, terus takut kalau badannya akan berubah seperti binaragawan. Padahal, tidak begitu karena tubuh laki-laki dan perempuan itu pada dasarnya berbeda," kenang ibu dua anak itu.

Pergunan yang masuk Akademi Kepolisian pada 1983 membuktikan diri mampu membagi waktu bekerja dan berlatih dengan baik. Ketika pada 1987 kejuaraan dunia angkat besi perempuan pertama kali diadakan di Florida, Amerika Serikat, ia satu dari tiga atlet yang dikirim. Meski tidak mencetak pretasi di ajang itu, Pergunan tetap konsisten menekuni angkat besi. Jam terbang Pergunan yang cukup banyak kemudian membuatnya diarahkan menjadi asisten pelatih dan wasit pada 1990. "Alasannya karena saat itu angkat besi masih jadi olahraga yang sangat lelaki, tidak ada pelatih perempuan," terangnya. Pilihannya fokus di dunia pelatihan juga dilakukan demi tanggung jawab profesi di kepolisian.

Dengan menjadi wasit, ia tidak perlu terlalu lama meninggalkan kantor. Pergunan percaya bahwa kunci kesuksesannya menjadi wasit disebabkan dia tidak pernah setengah-setengah. "Selalu sepenuh hati mengerjakan semuanya, saat jadi polisi maupun wasit," ujar perempuan yang masih kerap berlatih angkat besi hingga kini itu. Kehadirannya di tempat latihan angkat besi juga ditujukan untuk memberi dukungan moral dan semangat kepada para atlet cabang tersebut.

"Angkat besi itu sejujurnya olahraga yang bisa terasa sangat membosankan, kita hanya berurusan dengan benda mati," aku Pergunan. Di sisi lain, sebagai wasit dia juga perlu rutin melihat atlet saat mengangkat beban supaya kian terlatih. Itu lantaran penglihatan dan pengamatan merupakan aset seorang wasit. Besarnya tanggung jawab sebagai wasit pula yang membuat Pergunan sama sekali tidak risau meski mungkin kiprahnya tidak dikenal masyarakat. Ia tetap bangga meski tanpa selebrasi seperti yang diterima para atlet.

Seleksi ketat
Tidak hanya kaya pengalaman menjadi wasit Olimpiade, Pergunan juga telah 11 tahun ini menjadi Ketua Komisi Perwasitan Nasional untuk cabang angkat besi. Pergunan menjelaskan semua negara yang atlet mereka diikutsertakan dalam pertandingan memang berhak mendaftarkan perwakilan wasit. Latar belakang wasit bisa berasal dari ragam profesi, termasuk pengusaha dan dosen. Namun, kelulusan wasit ke International Weightlifting Federation (IFW) tetap ditentukan kompetensi setiap orang.

Untuk bisa lolos, tiap wasit yang didaftarkan negaranya akan dinilai kiprahnya hingga empat tahun ke belakang. Setiap keputusan yang diambil wasit dalam pertandingan akan diperhatikan para dewan (IWF). "Kalau pernah melakukan kekeliruan, penilaian profesionalisme sebagai wasit pun berkurang. Semakin aktif menjadi wasit alias jam terbang makin tinggi, lazimnya tingkat kekeliruan berkurang," jelas Pergunan.

Pergunan dalam empat tahun ini malang-melintang di berbagai kejuaraan, mulai SEA Games di Myanmar dan Asian Youth Game di Nanjing di tahun yang sama pada 2013, Asian Games di Incheon lalu Youth Olympic Games di Nanjing (2014), hingga IWF Junior World Championships di Polandia dan IWF Worldlifting Championship di Houston (2015). Di berbagai ajang itu, bahkan juga di dalam negeri, Pergunan tidak pernah berkompromi dalam soal disiplin. Ia patuh terhadap aturan hingga hal terkecil, seperti datang tepat waktu ke tempat timbang berat badan dan seragam sesuai dengan ketentuan.
Baginya, itu juga bagian dari mencintai profesi dengan sepenuh hati. (M-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya