Headline
Berdenyut lagi sejak M Bloc Space dibuka pada 2019, kini kawasan Blok M makin banyak miliki destinasi favorit anak muda.
Berdenyut lagi sejak M Bloc Space dibuka pada 2019, kini kawasan Blok M makin banyak miliki destinasi favorit anak muda.
SEBUAH studi yang diterbitkan dalam jurnal Royal Society Open Science memberikan pandangan baru dalam memahami kompleksitas dunia visual burung.
Penelitian ini menunjukkan, burung cendrawasih jantan menggunakan biofluoresensi untuk menarik perhatian burung cendrawasih betina. Hal ini melengkapi temuan sebelumnya bahwa burung cendrawasih jantan menggunakan bulunya yang indah dan tarian untuk menarik perhatian betina.
Sebuah studi yang dilakukan oleh ilmuwan dari American Museum of Natural History (AMNH) dan University of Nebraska-Lincoln menemukan bahwa 37 dari 45 spesies burung cendrawasih menunjukkan biofluoresensi.
Mengenal biofluoresensi
Biofluoresensi adalah fenomena di mana suatu organisme menyerap cahaya pada satu panjang gelombang dan kemudian memancarkannya dalam panjang gelombang lain, menghasilkan efek cahaya yang tersembunyi bagi mata manusia. Fenomena ini tampaknya lebih dominan pada burung jantan dan kemungkinan besar berperan dalam menarik pasangan serta menunjukkan dominasi di antara sesama pejantan.
“Ritual kawin unik burung cendrawasih telah lama menarik perhatian ilmuwan dan memicu berbagai studi tentang evolusi karakteristik dan seleksi seksual,” ujar Rene Martin, penulis utama studi ini sekaligus asisten profesor di University of Nebraska-Lincoln. “Sangat masuk akal jika burung-burung mencolok ini juga berkomunikasi dengan cara yang lebih mencolok lagi.”
Deteksi Cahaya Fluoresensi pada Burung Cendrawasih
Penelitian ini menggunakan spesimen burung yang telah dikumpulkan sejak tahun 1800-an dan disimpan di koleksi ornitologi AMNH. Sekitar satu dekade lalu, John Sparks, seorang kurator di museum tersebut, mengamati bahwa beberapa burung tampak bercahaya hijau-kuning ketika terkena cahaya dengan panjang gelombang tertentu. Penemuan ini menjadi dasar bagi penelitian lebih lanjut tentang biofluoresensi pada burung.
Dengan menggunakan cahaya ultraviolet (UV), para peneliti menemukan bahwa burung cendrawasih tidak hanya memancarkan cahaya saat terkena gelombang biru, tetapi juga memperlihatkan fluoresensi yang lebih kuat di bawah paparan UV. Efek ini paling terlihat di bagian tubuh yang sering ditampilkan saat ritual kawin, seperti kepala, leher, perut, serta bagian dalam paruh dan rongga mulut.
Biofluoresensi Lebih Menonjol pada Jantan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa cahaya fluoresensi ini lebih jelas terlihat pada burung jantan, terutama di bagian tubuh yang mereka gunakan untuk menarik perhatian betina. Sementara itu, burung betina juga menunjukkan biofluoresensi, tetapi dalam intensitas yang lebih rendah dan lebih terbatas pada bagian dada dan perut.
Para peneliti berhipotesis bahwa lingkungan tempat tinggal burung cendrawasih, yang terletak di wilayah khatulistiwa seperti Indonesia, Papua Nugini, dan Australia Timur, memiliki tingkat cahaya yang tinggi sepanjang tahun.
Kompleksitas cahaya di hutan-hutan tempat burung ini hidup dapat memperkuat efek biofluoresensi, membuat sinyal cahaya ini lebih efektif dalam komunikasi visual. “Burung-burung ini hidup di daerah tropis dengan cahaya matahari yang melimpah sepanjang tahun dan dalam hutan yang memiliki berbagai tingkat pencahayaan akibat perbedaan kerapatan kanopi,” jelas Emily Carr, kandidat PhD di Museum Richard Gilder Graduate School. “Kondisi ini mungkin berperan dalam memperkuat sinyal biofluoresensi.”
Pentingnya Biofluoresensi bagi Burung Cendrawasih
Studi ini juga mengungkap bahwa burung cendrawasih memiliki pigmen mata yang sesuai dengan puncak fluoresensi yang terdeteksi dalam penelitian. Ini berarti mereka kemungkinan besar dapat melihat cahaya tersembunyi, yang bisa menjadi faktor penting dalam pemilihan pasangan dan interaksi sosial.
Saat seekor burung jantan menari, cahaya hijau-kuning yang dipancarkan oleh bulu tertentu dapat berfungsi seperti sorotan, memberikan kontras yang kuat terhadap bulu gelapnya. Efek ini mungkin berfungsi untuk menarik perhatian betina atau menegaskan status sosial di antara pejantan lainnya.
Temuan mengenai biofluoresensi menunjukkan bahwa terdapat sistem komunikasi visual yang lebih kompleks dan komprehensif pada burung. Ini melengkapi temuan-temuan selanjutnya mengenai perilaku dan warna burung cendrawasih yang telah diteliti sebelumnya.
Penelitian selanjutnya ditujukan menemukan bagaima biofluoresensi dipengaruhi faktor lingkungan seperti perubahan musim dan perubahan ekosistem penunjang di sekitarnya. (H-2)
Peneliti menemukan 37 dari 45 spesies burung cendrawasih menunjukkan fenomena biofluoresensi.
BUKU cerita anak berjudul Sampari Si Cendrawasih karya Michael Jakarimilena dan Floranesia Lantang yang mengangkat karakter utama burung cendrawasih.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved