Headline
Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.
Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.
F-35 dan F-16 menjatuhkan sekitar 85 ribu ton bom di Palestina.
PENELITIAN baru menunjukkan pergerakan lambat yang merayap tanpa adanya guncangan mungkin merupakan pendahulu, yang diperlukan sebelum terjadinya gempa bumi.
Penelitian ini, yang berfokus pada dasar-dasar bagaimana material mengalami keretakan, mengamati retakan yang menjalar melalui lembaran plastik di laboratorium. Namun, eksperimen tersebut mengungkapkan beberapa dasar fisika tentang bagaimana retakan terjadi — terutama bagaimana penumpukan gesekan pada antarmuka dua benda dapat berubah menjadi keretakan mendadak. Temuan ini berlaku pada gempa bumi yang sebenarnya, kata penulis studi Jay Fineberg, seorang fisikawan dari Universitas Ibrani Yerusalem.
"Material yang menyusun pelat yang bersentuhan tidak akan berpengaruh," kata Fineberg kepada Live Science. "Proses fisik yang sama akan terjadi pada kedua kasus — ledakan pegas dari pelat yang melengkung akan dilepaskan dengan cara yang sama."
Gempa bumi terbentuk ketika dua lempeng tektonik yang bergerak saling bertumbukan, menyebabkan patahnya lempeng tersebut dan membangun ketegangan pada sesar.
"Lempeng-lempeng tersebut semakin tertekan oleh gaya yang mencoba menggerakkan mereka, tetapi terjebak di bagian rapuh dari antarmuka yang memisahkan keduanya," kata Fineberg. Bagian rapuh ini, yang tidak mengalami deformasi sebagai respons terhadap tekanan, memiliki ketebalan terbatas dan itulah yang pecah saat terjadi gempa.
"Proses patah ini tidak terjadi sekaligus. Pertama, sebuah retakan perlu dibuat," kata Fineberg. Ketika retakan tersebut mencapai batas-batas antarmuka rapuh, retakan itu mempercepat dengan cepat hingga mencapai kecepatan yang mendekati kecepatan suara. Itulah yang menyebabkan gempa bumi.
"Pertanyaannya adalah, bagaimana alam menciptakan retakan yang kemudian menjadi gempa bumi?" kata Fineberg.
Fineberg dan rekan-rekannya menyelidiki pertanyaan ini dengan kombinasi matematika teoritis dan eksperimen laboratorium. Mereka mereproduksi retakan yang mirip dengan gempa bumi di laboratorium menggunakan blok yang terbuat dari bahan termoplastik yang disebut polimetil metakrilat, yang lebih dikenal dengan nama plexiglass.
Para peneliti menjepit lembaran plexiglass bersama-sama dan memberikan gaya geser, atau gaya menyamping, yang mirip dengan gaya yang ditemukan pada sesar geser seperti Sesar San Andreas di California. Meskipun material yang digunakan berbeda, mekanisme keretakan yang terjadi tetap sama.
Setelah retakan dimulai, retakan itu bertindak seperti garis satu dimensi yang merobek material. Fineberg dan timnya sebelumnya telah menunjukkan bahwa sebelum retakan terbentuk, material tersebut mengembangkan fase pendahulu yang disebut front nukleasi.
Front nukleasi ini bergerak melalui material, namun jauh lebih lambat daripada retakan standar. Tidak jelas bagaimana benih ini bisa dengan cepat bertransisi menjadi keretakan yang bergerak cepat.
Fineberg dan rekan-rekannya merasa bingung tentang bagaimana hal ini bisa terjadi. Dengan kombinasi eksperimen laboratorium dan perhitungan teoretis, mereka menyadari bahwa mereka perlu memperbarui matematika: Front nukleasi perlu dimodelkan dalam 2D, bukan 1D.
Alih-alih membayangkan retakan sebagai garis yang memisahkan material yang patah dan yang tidak patah, Fineberg menjelaskan, bayangkan retakan tersebut sebagai sebuah tambalan yang dimulai dalam bidang tempat dua "pelat" plexiglass bertemu. Energi yang dibutuhkan untuk mematahkan material baru di batas tambalan tersebut terkait dengan keliling tambalan itu: Seiring dengan bertambahnya keliling, maka semakin banyak energi yang dibutuhkan untuk memecah material baru.
Artinya, tambalan tersebut bergerak perlahan dan belum menyebabkan keretakan cepat yang akan menciptakan gelombang seismik dan guncangan yang terkait dengan gempa bumi. Sementara percepatan cepat dari retakan standar melepaskan energi kinetik ke material di sekitarnya, pergerakan lambat dari tambalan awal tidak melepaskan energi kinetik ke sekitarnya. Oleh karena itu, pergerakannya disebut "aseismik."
Namun, akhirnya tambalan tersebut meluas ke luar zona rapuh tempat dua pelat bertemu. Di luar zona ini, energi yang dibutuhkan untuk mematahkan material baru tidak lagi bertambah seiring dengan ukuran wilayah yang patah, dan alih-alih ada keseimbangan energi, sekarang terdapat energi berlebih yang perlu ditempatkan di suatu tempat.
"Energi tambahan ini sekarang menyebabkan gerakan ledakan dari retakan," kata Fineberg.
Temuan ini, yang dipublikasikan pada 8 Januari di jurnal Nature, menunjukkan bagaimana pergerakan lambat sebelum sebuah retakan dapat dengan cepat bertransisi menjadi gempa bumi, kata Fineberg. Secara teoritis, jika seseorang bisa mengukur pergerakan aseismik sebelum sebuah keretakan terjadi — pada sesar, misalnya, atau bahkan pada objek mekanis seperti sayap pesawat — mungkin saja untuk memprediksi terjadinya retakan sebelum itu terjadi. Namun, ini bisa menjadi rumit pada sesar dunia nyata, banyak di antaranya mengalami pergerakan aseismik selama periode waktu yang panjang tanpa melepaskan gempa bumi.
Meski demikian, Fineberg dan timnya kini sedang mencoba untuk mendeteksi tanda-tanda transisi dari aseismik menjadi seismik pada material laboratorium mereka.
"Di laboratorium, kita bisa menyaksikan hal ini terungkap dan kita bisa mendengarkan suara-suara yang ditimbulkannya," kata Fineberg. "Jadi, mungkin kita bisa mengungkap apa yang tidak bisa dilakukan pada sesar yang sebenarnya, karena kita tidak memiliki informasi detail tentang apa yang dilakukan gempa bumi hingga akhirnya meledak." (Live Science/Z-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved