Headline
Pemerintah merevisi berbagai aturan untuk mempermudah investasi.
Hingga April 2024, total kewajiban pemerintah tercatat mencapai Rp10.269 triliun.
SEBUAH terobosan besar baru saja ditemukan dalam penelitian yang dilakukan oleh Universitas Oxford dan King’s College London. Penelitian ini menunjukkan bahwa benralizumab lebih efektif dibandingkan pengobatan menggunakan tablet steroid dalam mengatasi serangan asma atau Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK).
PPOK merupakan istilah yang digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang menghambat aliran udara, sehingga menyulitkan penderitanya untuk bernapas.
Penyakit ini merupakan kombinasi dari bronkitis kronis dan emfisema. Bronkitis kronis disebabkan oleh peradangan saluran napas (bronkus), yang menyempit dan meningkatkan produksi lendir, menyebabkan batuk berkepanjangan dengan dahak.
Sedangkan emfisema adalah kerusakan pada kantung udara (alveoli) paru-paru yang mengurangi kemampuan paru-paru untuk menukar oksigen dan karbon dioksida, menyebabkan sesak napas, terutama saat aktivitas fisik.
Pengobatan PPOK selama ini biasanya mengandalkan steroid inhalasi atau oral untuk mengurangi peradangan, membuka saluran napas, dan meredakan gejala seperti sesak napas dan batuk.
Benralizumab adalah antibodi monoklonal yang bekerja dengan menargetkan eosinofil, sejenis sel darah putih yang berperan besar dalam peradangan paru-paru.
Benralizumab saat ini digunakan untuk pengobatan asma parah, dan dalam uji klinis terbaru, obat ini menunjukkan hasil yang sangat menjanjikan, terutama dalam menangani eksaserbasi PPOK.
Profesor Mona Bafadhel, peneliti utama uji coba dari King’s Centre for Lung Health, menjelaskan bahwa benralizumab menawarkan solusi yang lebih efektif dibandingkan dengan tablet steroid.
“Alih-alih memberikan perawatan yang sama kepada semua orang, kami menargetkan pasien berisiko tinggi dengan pengobatan spesifik berdasarkan tingkat peradangan. Ini jauh lebih baik daripada metode perkiraan yang digunakan sebelumnya,” ujar Profesor Mona.
Dalam penelitian ini, para peneliti membagi orang-orang yang berisiko tinggi terkena serangan asma atau PPOK menjadi tiga kelompok.
Kelompok pertama menerima suntikan benralizumab dan pil kosong (dummy), kelompok kedua menerima perawatan standar (prednisolon 30mg setiap hari selama lima hari) serta suntikan kosong, sementara kelompok ketiga menerima suntikan benralizumab dan perawatan standar.
Penelitian ini menggunakan metode uji coba terkontrol plasebo buta ganda, yang berarti baik peserta maupun peneliti tidak tahu obat atau pengobatan mana yang diberikan kepada masing-masing kelompok.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa suntikan benralizumab, terutama saat diberikan pada titik eksaserbasi, memberikan hasil yang jauh lebih baik dibandingkan dengan pengobatan menggunakan tablet steroid.
Beberapa temuan utama dari uji klinis ini menunjukkan bahwa benralizumab lebih efektif dalam mengurangi gejala. Selain itu, kebutuhan perawatan lanjutan berkurang hingga 30%.
Pasien yang menerima benralizumab memiliki kemungkinan empat kali lebih kecil untuk gagal pengobatan dibandingkan dengan mereka yang hanya menerima tablet steroid. Hasil lainnya adalah peningkatan kualitas hidup pasien tanpa adanya efek samping berat.
Dengan adanya benralizumab, harapan baru muncul bagi penderita asma dan PPOK. “Pengobatan untuk asma dan eksaserbasi PPOK tidak berubah dalam lima puluh tahun meskipun menyebabkan 3,8 juta kematian di seluruh dunia setiap tahun digabungkan,” ungkap Profesor Mona.
Penemuan ini memberikan harapan bagi jutaan orang yang menderita asma dan PPOK, dengan pengobatan yang lebih spesifik dan efektif, serta mengurangi ketergantungan pada terapi steroid yang selama ini menjadi pilihan utama meskipun memiliki banyak efek samping.
(King's College London/Z-9)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved