BANYAK orang barangkali mengenal Labuan Bajo sebagai destinasi ekowisata nan indah dengan komodo sebagai ikonnya. Bahkan, pemerintahan Presiden Joko Widodo pun telah menetapkan Labuan Bajo sebagai destinasi superprioritas.
Namun, kekayaan Labuan Bajo sesungguhnya tidak sebatas kecantikan lanskap dan keunikan satwanya. Labuan Bajo memiliki potensi budaya dan lingkungan yang sangat besar, khususnya jika dikaitkan ke bidang industri kreatif.
Sejak tahun lalu, Program Studi Seni Rupa Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB telah menghelat program pengabdian masyarakat di wilayah tersebut dengan menggandeng SMK Negeri 3 Komodo. Program itu berupa pelatihan seni lukis batik tamarind (asam Jawa) pada wastra guna membantu peningkatan ekonomi kreatif dan pariwisata setempat. Tahun ini, program pengabdian kembali dilanjutkan dengan fokus pada pembuatan dan publikasi produk.
Pelaksanaan pelatihan seni lukis batik tamarind ini sekaligus merespons arahan Presiden menyangkut pengembangan daerah wisata superprioritas, terutama perihal peningkatan kualitas SDM dan pemasaran produk lokal, sebagaimana dilansir dari laman Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP). Hal ini lantaran program yang diajarkan terdiri atas beberapa tahapan yang mencakup produksi produk hingga publikasi di media sosial.
Adapun pemilihan media lukis batik tamarind didasarkan pada potensi alam Labuan Bajo yang mendukung ketersediaan bahan utama dalam berkarya. Pohon biji asam atau tamarind banyak tumbuh liar di Labuan Bajo. Namun, tanaman itu belum dimanfaatkan dalam pembuatan produk kreatif dan lebih sering dipakai untuk kebutuhan kuliner.
Pertimbangan lain, berbeda dengan tenun khas daerah Labuan Bajo yang teknik pembuatannya rumit dan memakan waktu lama, pembuatan produk dengan teknik lukis batik tamarind lebih mudah dan prosesnya cepat sehingga dapat lekas dipahami serta dipraktikkan pada pelatihan dengan waktu relatif singkat. Pengenalan teknik tersebut diharapkan memberikan wawasan mengenai inovasi baru dalam berkarya dan menambah keragaman produk kreatif yang dihasilkan di Labuan Bajo.
Hasil praktik foto produk yang sudah selesai. Dok. ITB
Proses berkarya dengan guta tamarind
Proses berkarya menggunakan medium guta tamarind dimulai dengan memotong bahan kain menjadi persegi agar dapat dipasang di spanram kayu yang telah dipersiapkan. Pemasangan kain harus dengan teliti agar kain terbentang kencang. Dengan begitu, guta tamarind yang diaplikasikan kelak dapat lurus.
Setelah proses pemasangan kain rampung, peserta memilih untuk membuat bandana atau membuat kipas karena keduanya punya proses kelanjutan yang berbeda.
Untuk bandana, peserta dapat langsung masuk ke proses pembuatan motif di atas kain. Untuk kupas, peserta perlu menyalin rangka kipas ke atas kain lebih dulu guna menentukan batas aplikasi motif.
Khusus untuk program pengabdian ini, para instruktur telah menyiapkan semacam template dengan menyalin rangka kipas yang terbentang hingga lurus di atas kardus bekas dan mengguntingnya. Template itu dipakai peserta sebagai ukuran di atas kain. Setelah proses ini rampung, maka sama seperti dalam pembuatan bandana, peserta dapat langsung membuat sketsa motif di atas kain dengan pensil.
Para mahasiswa yang terlibat dalam program pengabdian telah membuatkan beberapa ragam motif yang sudah dicetak di kertas dan dapat langsung disalin peserta di atas kain. Namun, peserta boleh untuk tidak menggunakannya dan bebas mengaplikasikan motif berbeda pada kain.
Kendati begitu, peserta perlu mengingat satu hal dalam penggambaran motif, yakni pembuatan garis pinggir (outline) yang tidak terputus. Hal itu karena garis outline akan ditimpa dengan guta tamarind yang berfungsi sebagai medium perintang.
Fungsi dari medium perintang ialah memisahkan cat yang nantinya diaplikasikan ke motif dengan cat yang akan diaplikasikan ke latar belakang ataupun bagian lain yang dikehendaki punya warna berbeda. Jika garis outline dari motif terputus, amat mungkin ketika diwarnai, cat yang diaplikasikan pada motif akan merembes ke bagian latar belakang ataupun bagian lainnya melalui celah garis tersebut. Oleh karena itu, penyalinan sketsa dengan guta tamarind perlu dengan hati-hati demi mencegah insiden pada proses pewarnaan kain.
Langkah selanjutnya ialah penjemuran kain agar guta tersebut kering. Setelah kering, peserta dapat masuk ke tahap pewarnaan dengan pewarna khusus sebelum akhirnya kembali dijemur.
Pemilihan pewarna bergantung pada jenis kainnya. Pewarna disperse dapat dipakai untuk kain dengan serat sintetis, seperti polyester. Adapun pewarna alam dapat digunakan untuk kain dengan serat alam seperti sutra atau katun. Penggunaan medium yang tidak tepat dapat menyebabkan kurang melekatnya warna pada kain.
Setelah pewarnaan dan penjemuran kain, masih ada beberapa tahap lain yang perlu diikuti. Secara keseluruhan, pembuatan bandana dapat rampung lebih cepat daripada pembuatan kipas. Kain bandana yang sudah diwarnai dan dijemur dapat langsung dilepas dari spanram, dicuci untuk menghapus bagian guta tamarind yang keras, kembali dijemur, dan setelah kering disetrika agar warnanya dapat lebih muncul. Ketika selesai disetrika, bandana tersebut sudah dapat dikatakan rampung. Jika ingin lebih rapi, pinggiran kain dapat dijahit agar tidak berserabut.
Untuk kipas, proses pembuatannya perlu dilanjutkan dengan memotong kain sesuai template kipas, merapikan pinggiran kain dengan menjahitnya, dan merekatkan kain tersebut dengan lem pada rangka kipas yang sudah disiapkan. Proses belakangan tersebut biasanya memakan waktu lantaran rangka kipas harus dibentangkan lebih dulu dan disusun dengan jarak yang sama. Jika ada yang tidak sama, lipatan kain ketika rangka kipas ditutup menjadi tidak rapi dan kain harus dilepas dari rangka untuk kembali direkatkan ulang.
Sesi eksperimen lukis batik tamarind di atas benang tenun. Dok. ITB
Antusias
Agenda pelatihan tahun ini berlangsung pada 31 Mei 2022 sampai 2 Juni 2022. Pelatihan diikuti oleh siswa-siswi serta guru-guru SMKN 3 Komodo. Setelah pelatihan, kegiatan diakhiri dengan survei lapangan pada 3 Juni 2022 untuk melihat potensi lain yang dapat dikembangkan dalam penelitian maupun pengabdian berikutnya.
Setiap harinya, pengabdian dibagi menjadi dua sesi. Pada hari pertama, sesi ke-1 pelatihan dimulai dengan pemberian materi mengenai teori menggambar dan penyederhanaan bentuk oleh Zusfa Roihan MSn (KK Seni Rupa, FSRD ITB), proses pembuatan motif oleh mahasiswa prodi sarjana seni rupa Wina Khoirunnisa S dan Dwi Ajeng Ayu A, serta design thinking oleh Dr Muksin MSn (KK Seni Rupa, FSRD ITB).
Sesi ke-2 langsung ke praktik pembuatan batik lilin dingin dengan memilih produk apa yang akan dibuat (kipas atau bandana), pembuatan sketsa di atas kain, dan penyalinan motif dengan menggunakan guta tamarind. Seluruh sesi dijalankan dengan santai dan interaktif agar seluruh siswa-siswi maupun guru-guru dapat aktif berdiskusi dan tidak tegang ataupun bosan dalam pelaksanaan pengabdian.
Pada sesi pertama, para murid masih malu-malu dalam berinteraksi. Menjelang akhir sesi, barulah mereka mulai lebih interaktif. Pada sesi kedua, mereka dapat berinteraksi lebih santai karena sudah mulai masuk ke praktik pembuatan karya. Hasil sketsa yang dibuat pada hari pertama juga memperlihatkan kreativitas siswa dan siswi dalam mengomposisikan motif di atas kain.
Para murid dan hasil karya mereka. Dok. ITB
Di hari kedua, pelatihan diawali dengan praktik pewarnaan dan penjemuran hasil batik, serta diakhiri dengan sesi penyelesaian produk dan sesi praktik tambahan dari para instruktur. Tingkat antusiasme murid maupun guru pada hari kedua sangat tinggi. Interaksi dengan para instruktur pun jauh lebih santai. Mereka tidak segan untuk bertanya ataupun berdiskusi dengan instruktur di lapangan.
Puncak antusiasme pada hari kedua terjadi pada sesi tambahan di bagian akhir. Sesi tambahan sebenarnya terbagi menjadi dua. Pertama, sesi cara aplikasi lukis tamarind di atas benang tenun. Sesi itu khusus untuk guru yang menenun, dan dilakukan di pertengahan sesi kedua. Berikutnya, sesi eksperimen teknik celup dengan tisu dan praktik teknik ikat celup di atas tekstil dilakukan di akhir sesi kedua.
Eksperimen teknik celup dengan tisu dilakukan karena aplikasinya sangat mudah dan hasilnya selalu bagus serta mengejutkan. Siswa-siswi mencoba teknik ini beberapa kali dan saling memamerkan hasil mereka kepada satu sama lain.
Dengan begitu, ada tiga hasil karya pada akhir hari kedua: penyelesaian karya bandana atau kipas, eksperimen tenun dengan para guru, dan karya teknik celup dengan tisu dan tekstil. Menariknya, untuk penyelesaian karya guta tamarind, ada beberapa murid mencampurkan warna secara langsung di atas kain, tanpa perintang. Hasilnya ialah efek cat yang merembes ke samping sehingga bercampur dengan bagian latar.
Hal menarik lain yang juga terjadi di hari kedua ialah adanya hasil karya para guru dalam pelatihan lukis tamarind yang menciptakan ilustrasi dari cerita rakyat maupun legenda lokal. Pemilihan tema ini sangat menarik karena dapat menjadi media edukasi maupun bentuk pelestarian budaya setempat.
Esoknya, hari terakhir pengabdian dibuka dengan dokumentasi hasil karya guru dan siswa serta pemberian materi mengenai fotografi dasar. Materi sesi pertama mencakup bagaimana cara memfoto produk agar menarik, juga tips pengunggahan foto ke media sosial.
Sesi berikutnya dilanjutkan dengan praktik. Karena keterbatasan perangkat, peserta paktik bergantian. Namun, para siswa tetap sangat antusias. Beberapa orang bahkan mencoba beberapa kali untuk mengambil foto produk.
Pada sesi ini, komposisi dan karya yang dipotret dibebaskan sehingga beberapa murid menggunakan karya mereka sendiri dalam praktik di sesi akhir. Selagi praktik, mereka mencoba berbagai komposisi dengan beragam benda yang dapat menjadi hiasan untuk mempercantik foto.
Pada awalnya, para siswa mengikuti contoh dari instruktur. Namun, semakin lama mereka mulai bereksperimen dengan mengomposisikan lebih dari satu produk, maupun mengubah susunan hiasan. Sudut pandang kamera dan pencahayaan juga dimainkan sehingga terbentuk komposisi baru dari foto-foto yang dihasilkan.
Secara keseluruhan, antusiasme peserta terbilang tinggi. Ketika penutupan, mereka mengatakan masih ingin melanjutkan pelatihan. Hal ini memberi gambaran bahwa SDM di Labuan Bajo memiliki semangat besar dalam menimba ilmu dan tanggap dalam menerima informasi baru. Dari hasil karya yang dihasilkan, mereka juga tampak memiliki kreativitas dan potensi yang baik untuk dikembangkan.
Ke depan, diharapkan para peserta dapat bereksperimen dan menerapkan teknik yang diajarkan dalam program pengabdian ini untuk menciptakan ragam produk baru, serta mengajarkannya kepada generasi selanjutnya sehingga berkelanjutan (sustainable). Industri kreatif di Labuan Bajo pun dapat berkembang lebih luas. (M-2)
BIODATA:
Almira Belinda Zainsjah, lahir di Bandung, 8 Juli 1991. Dosen di KK Estetika dan Ilmu-Ilmu Seni, Program Studi Seni Rupa, FSRD ITB. Saat ini aktif meneliti serta berpameran. Fokus peminatan ada pada teori dan metodologi seni, sejarah seni rupa pramodern, simbol dan mitologi, serta archetype.
Riwayat Pendidikan :
. S-1 Seni Rupa, FSRD ITB (2013)
. S-2 Seni Rupa, FSRD ITB (2016)