Headline

Pertambahan penduduk mestinya bukan beban, melainkan potensi yang mesti dioptimalkan.

Fokus

Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan

UI dan The Japan Fund for Global Environment Kaji Pembangunan Rendah Karbon

Faustinus Nua
28/1/2022 13:00
UI dan The Japan Fund for Global Environment Kaji Pembangunan Rendah Karbon
KURANGI EMISI KARBON: Pegiat sepeda dan aktivis pecinta lingkungan menggelar aksi gowes Kelap-Kelip Jakarta Night Ride #NOP26 di Jakarta.(ANTARA/Indrianto Eko Suwarso)

SEKOLAH Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia (SIL UI) bersama The Japan Fund for Global Environment (JFGE) tengah mengkaji pembangunan rendah karbon. Dengan berkolaborasi keduanya melihat potensi pengembangan energi berkelanjutan di Tanah Air.

Sebagai salah satu negara terbesar dengan industri berskala kecil yang banyak, Indonesia harus mengembangkan energi berkelanjutan dan menjadi negara industri yang maju. Sebab, pembangunan yang masif menyebabkan adanya efek rumah kaca yang dapat melepaskan emisi karbon dan perubahan iklim, sehingga hal itu menjadi masalah kritis bagi lingkungan.

Direktur SIL UI Tri Edhi Budhi mengatakan untuk mencapai pembangunan rendah karbon dengan teknologi yang sesuai, Indonesia menerapkan undang-undang tentang pengelolaan hutan dan tanah untuk mengurangi dampak emisi karbon. Kolaborasi dengan negara lain, seperti Jepang, akan dilakukan demi mengatasi permasalahan tersebut. "Diperlukan pedoman mengenai pemilihan teknologi yang tepat dalam pengembangan komunitas dekarbonasi di Asia dan penggunaan teknologi energi biomassa di Indonesia," ujarnya dalam keterangan resmi, Jumat (28/1).

Menurutnya, kebutuhan energi terbarukan yang ramah lingkungan ini dipicu oleh beberapa faktor, antara lain kemiskinan dan kesenjangan sosial, permasalahan lingkungan, serta perubahan iklim. Diperkirakan, pada tahun 2032 nanti jumlah emisi karbon yang dilepaskan oleh industri dan semua aktivitas yang memicu pelepasan karbon mencapai lebih dari 37.4 Gt (gigatons) CO2.

“Kami mengembangkan kerangka kerja yang komprehensif untuk menangani permasalahan tersebut, di antaranya berhenti menggunakan bahan bakar fosil berbasis peradaban, mengembangkan komunitas berbasis sumber daya yang dapat diperbarui, memberikan prioritas skala kecil dengan sistem desentralisasi, membuat keputusan dengan penggunaan sumber daya energi terbarukan masyarakat lokal, inovasi industri berskala besar yang berkelanjutan, mengubah aktivitas dari area perkotaan ke (inovasi teknologi) berkelanjutan, menghindari penggunaan teknologi yang boros, serta mencapai pembangunan berkelanjutan melalui sinergi negara maju dan berkembang,” kata Direktur Eksekutif APEX Nao Tanaka.

Pengembangan teknologi rendah karbon di Indonesia menjadi salah satu target pada 2045 dan 2050. Mahawan Karuniasa dari SIL UI menyampaikan adanya strategi jangka panjang dalam mengurangi emisi karbon secara global sebesar 29,7 Gt pada 2030. “Di Indonesia, komitmen untuk mengurangi emisi karbon dan iklim yang resilien tercantum dalam Net-Zero Agenda 2050 dan Indonesia Commitment by 2030. Kami bersama pemerintah dan pihak terkait berencana mengurangi 29% dan 41% emisi karbon di Indonesia,” jelas Mahawan.

Untuk mengurangi emisi karbon yang disebabkan oleh banyaknya penggunaan teknologi berbahan bakar fosil, diperlukan adanya Asian Development Bank (ADB) Energy Policy. ADB Energy Training mempercepat penghentian pembangkit listrik tenaga batubara dan peningkatan investasi baru. Dalam lingkup Indonesia, pemberlakuan pajak karbon dapat diimplementasikan.

Untuk diketahui, besaran pajak yang dikeluarkan industri berbahan bakar batubara dikenakan Rp30.000/tCO2e. Jika hal ini diberlakukan mulai April 2022, maka bisa menjadi kesempatan baik dalam mewujudkan Net Zero Carbon di Indonesia pada t 2050. (H-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Soelistijono
Berita Lainnya