Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

ODGJ Bisa Bekerja dan Raih Gelar Sarjana

Irene Harty Sihaloho
17/12/2021 06:00
ODGJ Bisa Bekerja dan Raih Gelar Sarjana
Art therapy batik.(Dok. KPSI)

BAGI orang yang mengidap gangguan jiwa, rasanya seperti mimpi buruk. Kadang keberadaan mereka dipermasalahkan. Penolakan tidak hanya datang dari diri sendiri atau keluarga, tetapi juga lingkungan sekitar. Beragam pertanyaan pasti muncul, terutama cara yang tepat untuk melanjutkan hidup dan menjalaninya sebaik mungkin.

Bagaimana hidup kami selanjutnya? Bagaimana kami harus menjalani hidup? Apakah kami hanya akan menjadi beban keluarga? Apakah masyarakat akan menerima kami? Bolehkah kami bekerja atau berkeluarga seperti yang lainnya?

Semua sama, semua bisa, dan semua boleh. Seperti itulah respons para anggota Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) atas semua pertanyaan yang muncul dari seseorang yang telanjur distempel sebagai orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). KPSI sebagai organisasi untuk ODGJ, khususnya skizofrenia, beserta keluarganya dalam hal edukasi dan informasi telah berhasil menolong banyak pengidap skizofrenia naik level.

Para penyintas anggota KPSI berhasil menjalani hidup mereka dengan penuh makna dan karya. Bahkan saat ini, beberapa penyintas anggota KPSI sedang melakukan proyek pengajuan dana untuk penelitian.

"Dari rancangan awal, proposal, wawancara, clouding data, sampai sekarang prosesnya lagi ke Yogyakarta untuk workshop pada awal Desember. Kita bikin syuting film untuk pembuatan penelitian dengan caregiver dan ODS (orang dengan skizofrenia)," ungkap Ketua KPSI Bagus Hargo Utomo saat bincang bersama Media Indonesia di Jakarta, baru-baru ini.

Beberapa pre-researcher ditunjuk dari anggota KPSI untuk proyek penelitian global bertema dampak Covid-19 kepada ODGJ antara kampus psikiatri kenamaan di London, Inggris, dan Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta.

 

Raih gelar sarjana

Salah satu pre-researcher itu ialah Muhammad Agung Novel, 40, penyintas ODS yang tinggal di Bintaro, Tangerang Selatan. Ayah seorang putri yang rutin mengonsumsi obat-obatan antipsikotik sejak 15 tahun lalu itu hingga sekarang bersedia berbagi kisahnya. Agung, demikian dia akrab disapa, mengaku sedang mengambil gelar sarjananya di luar negeri saat dinyatakan mengidap gejala skizofrenia.

"Tahun 2005 saya konsultasi ke dokter dan dinyatakan gejala skizofrenia. Saat itu saya rasa enggak ada perbedaan, enggak ada rasa sakit, jadi bingung dokter bilang begitu, kan," ungkapnya.

Lambat laun, gejala yang dirasakan Agung semakin jelas dengan munculnya suara-suara dalam kepala dan ia berhalusinasi hingga mendapat diagnosa skizofrenia paranoid. Singkat cerita, dengan kondisi demikian, keluarga Agung memulangkan putranya ke Tanah Air guna menjalani pengobatan medis.

Lelaki yang kini berprofesi sebagai sopir taksi daring itu tidak yakin gangguan jiwanya akan membutuhkan obat seumur hidup. Pemahaman mendalam dia peroleh saat bergabung dengan KPSI dan mengikuti beragam diskusi tentang skizofrenia. Menurutnya, pengidap skizofrenia akan lebih baik mengontrol diri dan pikirannya agar kembali berfungsi seperti seharusnya, dengan cara konsumsi obat-obatan antipsikotik.

Dengan pengobatan tersebut, Agung mampu meraih gelar sarjana di salah satu kampus di Indonesia. Kemudian dia menikah dan memiliki anak perempuan berusia sembilan tahun. Agung akan melanjutkan S-2 dalam waktu dekat.

Dukungan utama untuk Agung datang dari ibunya yang mencari tahu mengenai KPSI. Ayah Agung awalnya menyangkal sebelum akhirnya mendukung. Agung sempat menolak sebutan orang tidak normal, tapi dengan dorongan ibunya untuk selalu datang ke KPSI, ditambah dorongan almarhumah istrinya semasa hidup, Agung menyadari dan menerima keadaan itu. Melalui KPSI, Agung mendapatkan teman-teman baru yang bisa diajak berbagi cerita atau persoalan yang dihadapi.

Ia berharap, pemerintah bisa memasukkan obat-obatan antipsikotik paten yang sulit terjangkau ke dalam fasilitas BPJS Kesehatan.

 

Ingin punya rumah suaka 

Pre-researcher lainnya ialah Wunaring Suryo Satuti, 31, mahasiswa aktif jenjang master jurusan ilmu komputer di Universitas Indonesia yang berdomisili di Munjul, Cibubur. Ia menderita ODS sejak SMA dan kini menjadi penyintas. "Saya dengar terus, terus, terus, gitu kayak kaset rusak di dalam kepala saya. Setiap ada orang ngomong apa, berubah lagi ke kata-kata yang ada di kepala saya. Begitu terus selama tujuh tahun. Saya enggak berobat," tuturnya.

Kondisi Wunaring semakin menjadi-jadi apabila dihadapkan dengan tekanan besar seperti sewaktu mengerjakan skripsi. Meski telah berpindah-pindah tempat saat mengerjakan, suara-suara tersebut tetap mengikuti.

Setelah lulus sarjana dengan susah payah, konseptor siaran radio RPK itu merasa di-bully di awal ia bekerja. Kejanggalan semakin bertambah dengan perubahan sikap Wunaring yang menjadi lebih sering marah, bahkan sampai menampar ibunya sendiri. Dia pun berinisiatif mencari informasi tentang penyakit yang diidapnya karena kakaknya juga punya gejala sama.

Dari situ, Wunarning yang kini menjabat anggota executive committee di Global Mental Health Peer Network menemukan KPSI, tapi belum berniat menjalankan pengobatan medis.

Pada 2014, Wunaring akhirnya konsultasi ke dokter di rumah sakit dan didiagnosis mengidap skizofrenia paranoid. Ia sempat tidak cocok dengan obat antipsikotik yang dikonsumsi karena efek samping membuat seluruh tubuh jadi kaku. Wunaring berpindah ke obat jenis suntik sejak 2016 hingga sekarang.

Ia mendapat sekali suntikan setiap bulannya. Namun, akhir-akhir ini Wunaring mendapatkan dua kali suntikan sebulan karena ia sedang mendapat tekanan dalam pekerjaan dan kambuh lagi. "Biasanya sebulan sekali, tapi lagi proposal tesis juga kerja, ada tekanan, jadinya banyak halusinasi. Jadi, mulai kambuh lagi," tambahnya.

Wunaring berniat mewujudkan harapan para ODS atau ODGJ, yakni membangun rumah suaka yang menjadi markas umum terintegrasi dengan seluruh komunitas atau organisasi untuk kesehatan jiwa.

Terdapat pula pos pelatihan kerja untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sesuai dengan preferensi divisi sumber daya manusia tiap perusahaan.

"Jadi, nanti ada praktisi HRD (human resources department) yang akan memberi tahu bagaimana cara interviu, bagaimana cara menulis CV, bagaimana cara bekerja, karena sekarang, kan, jembatannya enggak ada," paparnya.

Ia bersama tim sedang membuat aplikasi sesuai dengan tesisnya bernama Selo atau Self Love dan direncanakan akan diluncurkan pada Juli 2022.

Harapannya aplikasi itu akan menjadi alat pengingat bagi ODS atau ODGJ untuk meminum obat, menulis jurnal, sampai memuat kontak darurat. Aplikasi juga menyediakan lokasi praktik psikiater, puskesmas, dan rumah sakit terdekat yang melayani konsultasi kejiwaan.

Impian lainnya ialah membuka situs khusus untuk ODGJ atau keluarga yang memiliki berbagai pengalaman mengenai kesehatan jiwa dan ingin membaginya. Pengunjung situs yang ingin membacanya dapat membayar per tulisan. Dengan begitu, ODGJ akan mendapat pekerjaan dan pemasukan untuk biaya hidup. (N-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya