Headline
Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.
Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.
Kawasan Pegunungan Kendeng kritis akibat penebangan dan penambangan ilegal.
RIZA Nasser, harus terlunta-lunta sesampainya di Indonesia setelah dirinya pulang dari Malaysia untuk mengunjungi istri dan anaknya yang baru ditemuinya lagi setelah 2 tahun lamanya. Ia harus menunggu selama kurang lebih 19 jam untuk mendapatkan kamar karantina.
"Saya merasa menjadi korban dari kebijakan pemerintah yang berubah-ubah tentang karantina kesehatan bagi pelaku perjalanan internasional. Dengan alasan ancaman varian baru covid-19, masa karantina yang sebelumnya tiga hari, menjadi 7 hari, kemudian berubah lagi menjadi 10 hari," tutur Riza kepada Media Indonesia, Selasa (14/12).
Baca juga: Vaksinasi Covid-19 terhadap Anak Harus Dibarengi Peningkatan Pemahaman Orangtua
Riza menceritakan, dirinya tiba di Bandara Soekarno Hatta pada 8 Desember 2021 pukul 9 malam. Saat memasuki pintu kedatangan internasional, dirinya langsung diarahkan menuju tempat pemeriksaan dokumen perjalanan untuk penentuan tempat karantina.
Setelah melalui sejumlah pemeriksaan oleh pihak Kementerian Kesehatan, dirinya kemudian dinyatakan harus karantina selama 10 hari. Ia disodorkan pilihan hotel karantina seharga Rp8,2 juta untuk 10 hari karantina.
"Tidak ada hotel yang lebih murah dari itu dan boleh kita pilih sendiri. Saya menolak dan mengaku tak punya duit sebanyak itu. Uang senilai Rp 8,2 Juta terlalu besar buat saya," cerita Riza.
Ia kemudian memohon kepada pihak petugas untuk bisa mendapatkan fasilitas karantina yang lebih murah. Namun, petugas menyebut Rp8,2 juta merupakan harga yang paling murah yang bisa didapatkan masyarakat untuk menyewa hotel karantina.
Akhirnya, Riza disarankan petugas untuk meminta keringanan kepada anggota Satgas Covid-19 dari TNI yang bertugas di sana, agar bisa dikarantina di wisma yang disediakan pemerintah secara gratis, yang sebenarnya hanya diperuntukan bagi mahasiswa, pelajar, pekerja migran Indonesia dan PNS yg dinas ke luar negeri.
Setelah menunggu petugas melayani orang-orang yang hendak memesan tempat karantina di hotel, Riza kemudian melakukan negosiasi dan akhirnya diminta untuk bergabung dengan orang-orang yang senasib dengannya, yang banyak diantara mereka bahkan telah menunggu sejak pukul 7 pagi.
Sekira pukul 1 dini hari, tutur Riza, petugas baru menghampiri mereka dan melakukan pendataan untuk selanjutnya diangkut dengan bus yang disediakan menuju tempat karantina.
"Sekitar satu jam perjalanan, ternyata bus yang kami tumpangi berhenti di Rumah Susun Pasar Rumput, Jakarta Selatan. Bus berhenti lama di depan rusun, sembari mengantre untuk masuk ke pekarangan," ungkap Riza.
Penantian Riza untuk mendapatkan tempat karantina rupanya tidak cukup sampai di situ. Saat sampai di Rumah Susun Pasar Rumput, Riza beserta rombongan lainnya tidak lantas diperbolehkan masuk. Ada sekitar 4 bus yang berjejer di depan bus yang ditumpangi Riza dan 6 bus di belakangnya. Untuk menunggu giliran masuk ke tempat karantina, Riza dan yang lainnya harus berdiam di dalam bus.
"Selama menunggu, kami tidak diperkenankan untuk turun. Perut yang belum terisi terus meronta-ronta. Kerongkongan saya semakin mengering karena tidak ada air yang bisa saya beli sejak di bandara," ucap dia.
Setelah bermalam di bandara dan bus, akhirnya pada pukul 2 siang, Riza beserta rombongan di dalam busnya diperbolehkan turun dan mengisi pendaftaran serta melakukan tes PCR.
"Setelah itu saya harus mencari 2 orang teman, untuk mendapatkan kamar. Kami kemudian melakukan registrasi di ruangan yang tampak padat dengan pendaftar lainnya. Kebanyakan mereka berkerumun. Tidak ada sosial distancing. Petugas pendaftaran juga menyusun bangku-bangku pendaftaran layaknya situasi normal dan bukan di tengah pandemi," cerita Riza.
"Beberapa orang yang mengantre bahkan kerap melepas masker mereka. Saya sepuluh kali lebih khawatir tertular covid di tempat karantina ini ketimbang di luar sana," imbuhnya.
Saat ini Riza sudah menjalani hari karantinanya yang keenam. Selama menjalani karantina, petugas memberikannya makan 3 kali sehari. Pengawasan di sana juga cukup ketat. Setiap orang diberikan gelang dengan warna mencolok yang sulit di lepas, sehingga tidak memungkinkan bagi siapapun di sana untuk keluar dari tempat karantina.
Namun, karena tempat karantina yang cukup penuh, petugas beberapa kali sempat terpaksa memulangkan orang yang baru menjalani karantina selama 7 hari untuk menampung orang-orang yang baru datang dari luar negeri.
Dengan sulitnya aturan karantina yang diberlakukan pemerintah Indonesia, Riza jadi membandingkan aturan karantina yang diterapkan Malaysia. Di sana, kata dia, orang-orang yang datang dari luar negeri hanya cukup melakukan karantina mandiri di rumah selama 7 hari. Dan itu yang juga ia lakukan saat dirinya tiba di Malaysia beberapa waktu lalu.
"Karantina di rumah bagi pelaku perjalanan internasional seperti di Malaysia saya kira lebih efektif dan berbiaya murah, ketimbang pemerintah mewajibkan karantina di hotel atau di tempat karantina terpusat semacam ini," keluh Riza.
"Karantina terpusat atau di hotel sama-sama memakan biaya tinggi yang membebani pelaku perjalanan dan juga pemerintah. Selain itu potensi korupsi dan permainan oleh oknum petugas cukup tinggi," tutupnya.
Dihubungi terpisah, Kepala Bidang Penanganan Kesehatan Satgas Covid-19 Alexander K. Ginting enggan berkomentar mengenai harga yang dipatok untuk kamar hotel karantina. "Tapi biaya itu sudah include biaya kamar, makan 3 kali sehari dan laundry," kata Alexander.
Ia memastikan, aturan karantina yang ditetapkan pemerintah saat ini bertujuan untuk menekan laju penyebaran covid-19. Pemerintah juga hanya akan menyediakan tempat karantina gratis bagi pelajar, PMI dan PNS yang bertugas ke luar negeri.
"Nah, yang jalan jalan ke Amerika Serikat, Eropa atau Rusia ya harus biaya sendiri, atau perusahaan yang bawa dia jalan jalan," pungkas Alexander. (OL-6)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved