Headline
Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.
Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.
Kawasan Pegunungan Kendeng kritis akibat penebangan dan penambangan ilegal.
MENJADI atlet panahan bukan impian Nuraini. Dahulu, saat mengenyam sekolah dasar di Cilacap, Jawa Tengah, ia memang ingin menjadi atlet. Akan tetapi, cita-cita itu tak kesampaian karena tidak ada sarana olahraga di desanya.
"Karena tidak ada sarana olahraga, saya urung jadi atlet. Saya sekolah sampai lulus kuliah dan jadi PNS seperti harapan orangtua," kata Nuraini membuka perbincangan dengan Media Indonesia, ditemani siswa MAN 1 Kulon Progo, Rahcelia Dwi AL, Rabu (1/12).
Namun, kini Nuraini menjadi atlet panahan dan berhasil meraih medali emas dan perunggu saat Pekan Paralimpik Nasional (Peparnas) XVI Papua 2021. "Saya asli Cilacap, kemudian pindah ke Purwokerto. Tahun 2018 saya ikut seleksi CPNS Kemenag dan ditempatkan di Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Saya mengajar di Madrasah Aliyah Negeri 1 Kulon Progo sebagai guru matematika," terang Nuraini.
Menjadi atlet panahan merupakan sebuah ketidaksengajaan bagi Nuraini. Sebagai penyandang tunadaksa, perempuan yang akrab disapa Nur ini memang kurang informasi tentang komunitas difabel. Ia justru berkumpul dengan teman-teman yang normal.
"Setiap hari saya berangkat dan pulang ke sekolah dan kos selalu melewati lapangan, dan melihat banyak orang berlatih panahan. Saya cuma melihat saja. Sempat bertanya dalam hati bagaimana bisa belajar memanah," ungkapnya.
Suatu hari di 2019, Nuraini jajan soto sendirian di warung dekat lapangan. Banyak pelanggan yang makan soto di warung tersebut. Mereka adalah para peserta latihan panahan karena saat masuk ke warung soto sambil membawa peralatan olahraga memanah.
Saat Nuraini beranjak ke kasir untuk membayar, tiba-tiba ada seorang dari sekelompok peserta latihan panahan menyapanya.
"Mbak, kenapa kakinya? Itu pertanyaan pertama yang terlontar dari salah satu rombongan pemanah itu. Mereka melihat saya datang ke kasir berjalan memakai tongkat. Di sini juga ada difabel. Kalau mau bergabung dengan kami, monggo," kenang Nuraini.
Nuraini langsung tergerak hatinya. Ia pun akhirnya bergabung dengan kelompok pemanah itu. "Pak Widi yang mengajak saya bergabung dan menawari untuk bisa datang ke NPC (National Paralympic Committee) atau Komite Paralimpiade Nasional. Saya ditawari mau belajar olahraga apa saja. Panahan atau cabor (cabang olahraga) lainnya, semua ada wadahnya."
Akhirnya Nuraini memilih panahan karena cabang tersebut lebih masuk akal melihat kondisinya yang tidak bisa berjalan apalagi berlari.
Nuraini pun rajin berlatih panahan hingga dia disiapkan masuk ke Pusat Pelatihan Daerah (Puslatda) DIY. Syarat yang harus dipenuhi ialah pindah kependudukan. "Saya akhirnya pindak KTP dari Purwokerto menjadi warga Kulon Progo agar bisa mengikuti Puslatda," terangnya.
Didiskualifikasi
Nuraini kemudian mengikuti seleksi pertama pada Juni 2020 dan lolos bersama tiga atlet lainnya dari Kulon Progo. Ia pun sudah mendapat SK izin dari institusi tempat ia mengajar untuk fokus ke Peparnas XVI Papua.
Pada Januari 2021 panitia mengumumkan adanya pengurangan jumlah atlet yang berlaga karena pandemi covid-19. Saat itu muncullah sistem degradasi. Nama Nuraini muncul dalam sistem degradasi tersebut sehingga ia tidak bisa melanjutkan latihan di Puslatda DIY.
"Saat saya masuk degradasi itu rasanya kecewa dan tidak enak. Karena SK yang saya pegang itu berakhir Januari 2021. Saya tidak bisa berlatih di Puslatda. Tapi pelatih saya bilang jangan patah hati, tetap latihan karena Juni nanti ada seleksi lagi. Akhirnya saya latihan mandiri setiap selesai mengajar di sekolah."
Ia berlatih maksimal seminggu tiga kali agar bisa menembus seleksi dan berlaga di Papua. Latihan mandiri itu pun berbuah manis. Juni lalu, dia kembali masuk seleksi dan lulus. "Dan, 2 November, saya dan 19 atlet panahan lainnya dari DIY ikut berlaga di Papua. Lega sekali akhirnya saya bisa tiba di Papua. Beban saya terangkat," ujar Nuraini dengan suara penuh semangat.
Usaha kerasnya tidak sia-sia. Nuraini menyabet medali emas dan medali perunggu. "Sejak saya difabel semuanya terbuka. Pikiran saya juga terbuka luas. Saya ini terlahir normal. Tapi kemudian ada musibah, saya mengalami kecelakaan saat naik motor. Ketika itu masih semester lima, motor yang saya naiki tabrakan dengan mobil boks di Purbalingga. Tulang belakang patah dan kedua kaki saya lumpuh," ungkapnya.
Nuraini menderita paraplegia atau kelumpuhan pada anggota gerak, dimulai dari panggul ke bawah. Kondisi itu disebabkan oleh hilangnya fungsi gerak (motorik).
Ia pun terus menjalani terapi dan sempat cuti kuliah selama satu tahun agar pengobatannya tuntas. "Awalnya saya kira setelah terapi akan sembuh. Tapi setelah terapi jangka panjang, bahkan ke pijit tradisional, kondisi saya tidak berubah. Saya masih tetap tidak merasakan apa-apa."
Nur mulai bosan berada di kursi roda dan terus di rumah. Ia kemudian meminta ke orangtuanya agar bisa kembali kuliah. "Ibu saya melarang karena kampus saya di lantai 4 dan waktu itu kebutuhan untuk difabel masih kurang. ‘Siapa yang akan menaikkan kamu ke lantai empat dengan kursi roda’. Maka, ibu menantang saya, apabila saya bisa jalan dengan tongkat diperbolehkan kuliah. Saya pun langsung latihan berjalan dengan tongkat," kata Nur yang awalnya bercita-cita jadi seorang wartawan olahraga.
Akhirnya Nuraini bisa menyelesaikan kuliah dan lulus pada 2011. Sebagai keluarga yang seluruhnya adalah PNS, dari bapak, ibu, hingga kakaknya, maka ia pun dituntut orangtuanya untuk menjadi PNS.
Menjadi guru
Sudah tiga kali Nur ikut tes CPNS, tetapi gagal terus. Akhirnya Nuraini menjadi mentor matematika di lembaga bimbingan tes. Ia menekuni sebagai mentor pada 2012-2018. Awalnya dia menjadi mentor di Cilacap, kemudian 2017 pindah ke cabang Purbalingga dan terakhir di Purwokerto.
"Saya akhirnya tertarik lagi mendaftar CPNS dari jalur difabel untuk Kemenag dan akhirnya lolos. Tes CPNS sebelumnya saya menggunakan jalur umum, bukan difabel. Dan, saya sudah mendapatkan SK pengangkatan PNS," ujarnya lega.
Saat menjadi guru di sekolah, sempat ada rasa takut karena dulu saat mengajar di bimbingan tes, siswanya terbatas. Kini ia harus mengajar sembilan kelas. Namun, berdasarkan pengalaman yang ia terima, murid-muridnya sangat menghargai keberadaannya.
Tiap menjelang mengajar, sejumlah murid sudah menyusul ke ruang guru untuk membantunya membawakan buku atau kertas catatan. Saat mengajar pun, murid-murid suka iseng menyembunyikan tongkatnya.
"Kan saya kalau mengajar suka keliling meja anak-anak. Pernah pas saya lagi mencatat di papan tulis, tongkat disembunyikan. Alasan anak-anak, biar saya tidak keliling meja. Ya, semua pada bercanda seperti itu," kenangnya.
Diakuinya bahwa butuh proses lama untuk mengakui dirinya sebagai seorang difabel. "Saya akui itu, saya merasa sehat dan tetap bisa beraktivitas. Tapi sebetulnya saya difabel. Saya dalam proses denial (penyangkalan) saat itu. Justru saat masuk ke komunitas difabel, semuanya terbuka," ujarnya
Nuraini berpesan kepada teman-teman penyandang disabilitas agar tidak rendah diri, tidak minder dengan keterbatasan yang ada. "Terimalah keadaan ini dan tetap berusaha menjadi mandiri. Apa pun bisa dilakukan," pungkasnya. (N-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved