Headline

AS ikut campur, Iran menyatakan siap tutup Selat Hormuz.

Fokus

Tren kebakaran di Jakarta menunjukkan dinamika yang cukup signifikan.

Dari Keset hingga Masker Menghidupi Kaum Disabilitas

Lilik Dharmawan
12/11/2021 06:00
Dari Keset hingga Masker Menghidupi Kaum Disabilitas
Irma Suryati menekuni usaha membuat keset.(MI/Lilik Dharmawan)

PERJALANAN hidup Irma Suryati, perempuan kelahiran Semarang, 1 Januari 1975, tidaklah mudah. Ketika kecil, dia terserang polio sejak usia 4 tahun. Sebagai penyandang disabilitas, perjuangan hidupnya keras.

Tidak hanya mengalami perundungan, tetapi juga harus berkali-kali jatuh.

Setelah lulus pendidikan SMA dan keterampilan di RC Solo, Irma pulang ke Semarang dan membuka usaha mulai 1999. Usahanya ialah menjadi perajin keset dari kain perca. Selama 3 tahun, tepatnya pada 2002, Irma bersama suaminya, Agus Priyanto, telah memiliki omzet hingga miliaran setiap tahunnya. Namun, kejadian tak tidak disangka-sangka terjadi. Tempat usahanya yang berada di Pasar Karangjati terbakar. Musnah tanpa ada yang selamat.

Mereka kemudian memutuskan hijrah ke Kebumen, tepatnya di Desa Karangsari, Kecamatan Buayan. Di desa setempat, Irma kembali memulai usahanya, yakni membuat keset dari kain perca. Pelan-pelan, usahanya mulai berkembang.

Hingga belasan tahun, Irma tetap konsisten untuk memproduksi keset. Dia juga mengajak penyandang disabilitas untuk ikut kerja. Produksi dan omzet mengalami peningkatan signifikan, bahkan bisa ekspor sampai ke Australia. Irma juga mendapat berbagai macam penghargaan atas dedikasinya mengikutsertakan penyandang disabilitas untuk tetap berkarya.

Apresiasi yang prestisius diterima Irma pada 20 Desember 2019, yakni sebuah penghargaan dari Presiden Joko Widodo. Penghargaan itu ialah Satya Lencana Kebaktian Sosial. Hal itu merupakan bukti bahwa dia telah berjasa dalam bidang kesejahteraan sosial, melakukan kegiatan yang dirasakan manfaatnya oleh masyarakat luas dan karya yang berdampak positif bagi masyarakat.

"Penghargaan diberikan ketika pandemi covid-19 belum muncul di Indonesia. Setelah mendapat penghargaan Satya Lencana Kebaktian Sosial, saya banyak undangan dari seluruh Indonesia. Jadwal telah dirancang selama 2020, tetapi, covid-19 muncul dan gagal semuanya. Seluruh agenda batal," ungkap Irma kepada Media Indonesia, Rabu (27/10).

Dampak yang lebih dahsyat ialah merosotnya omzet keset. Ketika pandemi datang, omzet terjun bebas hingga 50% bahkan ada masa stagnasi tidak produksi. Macam-macam faktornya, di antaranya kesulitan bahan baku dan pasar yang sepi. "Terus terang, saya memikirkan nasib para penyandang disabilitas yang selama ini bergabung dengan Mutiara Handycraft untuk membuat keset. Kondisi pandemi mengalami stagnasi, saya langsung berpikir, bagaimana nasib mereka nantinya," kata Irma.

Irma yang pernah mengalami keterpurukan tidak membuat dirinya patah arang. Dia berpikir keras bagaimana agar mampu bertahan dalam situasi pandemi. Setelah berdiskusi dengan sahabatnya, Irma menemukan titik terang, yakni membuat masker.

Kebetulan, pada awal masa pandemi, masker hilang di pasaran. Kemudian, ada alternatif pembuatan masker kain. "Kemudian, kami mencoba. Tidak sulit pembuatannya, bahkan lebih mudah dari membuat keset. Inilah yang menjadi tonggak bagi kami untuk kembali melangkah," jelasnya.

Dia memasarkan secara daring dan menawarkan kepada para tokoh maupun lembaga. Gayung bersambut. Ternyata kebutuhan masker cukup besar. "Saya bisa lagi mengajak para penyandang disabilitas untuk membuat masker. Bahkan, jumlahnya mencapai 1.000 orang, tidak hanya penyandang disabilitas. Kami mengajak mereka karena pesanannya cukup besar hingga ratusan ribu masker."

Namun, lanjut Irma, ongkos pembuatan keset dengan masker berbeda ongkosnya. Kalau keset, perajin bisa mendapatkan hingga Rp15 ribu dari keset dengan kualitas tinggi. Namun, jika masker, hanya Rp600 per buah.

Kondisinya memang masih belum menentu sehingga mereka tetap saja semangat membuatnya. Meski hanya Rp600 per buah, jumlah masker yang dihasilkan setiap harinya cukup banyak karena pembuatannya tidak rumit, jelas dia.

 

Mulai bangkit

Kegigihannya untuk mencoba produk baru menyesuaikan pasar ketika terjadi pandemi seperti masker, menjadi salah satu kunci bagi Irma untuk tetap bertahan. Bukan hanya untuk dirinya sendiri, melainkan juga para penyandang disabilitas yang menopang UMKM Mutiara Handycraft.

"Alhamdulillah pandemi berangsur-angsur mulai membaik. Beruntung ada jalan keluar untuk kami, meski kondisinya memprihatinkan pada awal-awal pandemi, ide membuat masker jadi solusi bagi kami untuk dapat meneruskan usaha ini," katanya.

Setelah mengalami puncak pandemi pada Juli lalu, pandemi covid-19 mulai melandai. Turunnya kasus korona menjadikan usaha mulai menggeliat.

"Justru dengan adanya pandemi, Mutiara Handycraft malah memiliki kemampuan baru, yakni membuat masker. Beberapa waktu lalu juga sempat membuat baju hazmat maupun faceshield. Karena masih masa pandemi, pesanan masker masih cukup tinggi. Masker yang kami buat ialah masker kain dari peralatan mesin jahit biasa. Hal itu sekaligus untuk tetap mempertahankan penyandang disabilitas agar dapat bekerja," jelasnya.

Irma mengaku dipercaya oleh Kementerian Perdagangan (Kemendag) untuk membuat suvenir untuk dibawa ke Dubai Expo 2021. "Kami mendapat pesanan dari Kemendag berupa suvenir dan masker. Jumlahnya mencapai 1.000 buah dan dibawa ke Dubai Expo 2021. Dalam pembuatan suvenir ini, kami melibatkan penyandang disabilitas juga," kata Irma.

Menurutnya, pasar domestik keset juga mulai menggeliat. Keset yang ditawarkan dibanderol dengan harga Rp5.000 hingga Rp45 ribu per buah, tergantung kualitas dan bentuknya.

"Pada awal pandemi, omzet setiap minggunya hanya mencapai Rp10 juta. Sangat jauh jika dibandingkan dalam kondisi sebelum pandemi yang omzetnya dapat mencapai Rp800 juta setiap bulan dengan produksi mencapai 200 ribu per bulan. Kini telah bangkit. Satu bulan ini kami bisa memproduksi hingga 20 ribu buah keset. Kami akan terus meningkatkan produksi keset hingga 50 ribu buah tiap bulannya," lanjutnya.

Dengan semakin tingginya permintaan pasar, para penyandang disabilitas yang menjadi perajin keset juga kembali sibuk. Bahkan, kini Irma memiliki tantangan baru, yakni membuat sarung tangan untuk diekspor ke Jepang. Pembuatan sarung tangan dilakukan secara khusus. Satu sarung tangan harganya cukup mahal mencapai Rp750 ribu.

"Saya sudah lihat sampelnya dan saya yakin bisa kami kerjakan bersama. Kontrak awalnya sebanyak 1.600 pasang. Saat ini kami tengah persiapan karena nantinya pembuatan sarung tangan akan dipusatkan di rumah saya."

Ia berharap pembuatan sarung tangan pesanan Jepang tersebut bisa berjalan lancar. Irma juga telah pastikan pembuat sarung tangan bakal melibatkan penyandang disabilitas. "Saya memperkirakan ada sekitar 80 perajin yang dapat terlibat. Mungkin 50% di antaranya disabilitas. Sejak awal usaha saya rintis sampai sekarang, penyandang disabilitas akan terus mendapat porsi. Mereka juga punya hak untuk maju dan berdaya," tegasnya. (N-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya