DEMI menekan dampak krisis iklim yang lebih buruk di masa mendatang, pemerintah Indonesia harus melakukan berbagai langkah ambisius dalam kebijakan energi dan kehutanan. Pasalnya, tren emisi gas rumah kaca dari dua sektor tersebut terus meningkat cukup signifikan.
Hal itu diungkapkan oleh Peneliti Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Adila Isfandiari. Ia menyebutkan, salah satu catatan Kelompok Kerja 1 IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) dalam laporan bertajuk Perubahan Iklim 2021: Basis Ilmu Fisika (Physical Science Basis), suhu permukaan global telah menghangat dengan signifikan, dengan lima tahun terakhir (2016-2020) menjadi rekor tahun terpanas setidaknya sejak 1850.
Laporan tersebut pun menyatakan, pemanasan global yang disebabkan oleh manusia telah menyebabkan berbagai fenomena iklim ekstrem di banyak wilayah di seluruh dunia. Salah satunya, kenaikan permukaan laut yang ekstrem. Catatan Greenpeace Asia Timur, fenomena kenaikan permukaan laut ekstrem dan banjir pesisir yang tinggi di tujuh kota besar Asia, termasuk Jakarta, pada 2030 dapat menimbulkan dampak pada produk domestik bruto sebanyak US$724 miliar.
Sementara itu, Indonesia dengan revisi Nationally Determined Contributions-nya (NDC) yang baru saja disetorkan kepada UNFCCC, menyatakan tidak akan merubah target pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK), yaitu sebesar 29% dan 41% dengan bantuan internasional. Padahal target tersebut malah akan membawa kenaikan temperatur global sebesar 4 derajat Celcius jika negara lain menganut target yang sama.
Sementara itu, Strategi Jangka Panjang Rendah Karbon dan Ketahanan Iklim (LTS-LCCR) yang akan dibawa pemerintah pada Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim (COP) ke-26 di Glasgow, November mendatang, juga masih memberikan porsi besar pada energi kotor batu bara sebanyak 38% dengan skenario terbaiknya, yaitu Low Carbon Scenario Compatible (LCCP), pada tahun 2050.
“Untuk mencapai target kenaikan suhu bumi di bawah 1,5°C, Pemerintah harus segera menghentikan pembangunan pembangkit listrik batu bara baru saat ini juga, dan mulai menutup pembangkit batu bara yang ada untuk memberikan ruang bagi pengembangan pembangkit listrik dari sumber energi terbarukan (angin dan surya),” ujar Adila dalam keterangan resmi, Minggu (11/9).
Di sektor kehutanan, ia menilai kebijakan menggenjot produksi biofuel adalah solusi palsu yang harus dihentikan. Berdasarkan hasil kajian Greenpeace dengan LPEM FEB UI , produksi biofuel berpeluang besar menimbulkan deforestasi masif. Tidak satupun skenario dalam LTS-LCCR yang menunjukkan, tidak ada deforestasi. Dalam skenario LCCP, laju deforestasi pada 2010-2030 ditargetkan sebesar 241 ribu hektar/tahun, lalu 99.000 hektar/tahun pada 2031-2050.
Angka deforestasi tetaplah besar, meski Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengklaim angka deforestasi menurun sepanjang 2019-2020.
Adila menegaskan, selama pemerintah tidak mengevaluasi dan masih memberikan perizinan usaha berbasis lahan yang berpotensi terjadinya deforestasi, termasuk pembukaan lahan dan pengeringan di zona gambut yang akan mempercepat laju pelepasan emisi, maka target dalam skenario net sink KLHK akan sulit tercapai.
“Bukti ilmiah tentang krisis iklim dan dampaknya sudah sangat jelas dijabarkan. Kita semakin berkejaran dengan waktu, dan pemerintah harus segera melakukan aksi iklim yang serius dan berhenti menawarkan solusi semu untuk menyelamatkan rakyatnya,” pungkas Adila.
Dukungan finansial
Menteri Lingkungan dan Kehutanan Siti Nurbaya mengungkapkan, Indonesia terus mendukung semangat menjaga kenaikan suhu bumi tidak lebih dari 1,5 derajat Celcius, serta implementasi menuju net-zero emisi/nol emisi dengan memperhatikan prinsip-prinsip tanggung jawab umum yang berbeda sesuai kemampuan masing-masing negara (CBDR-RC).
Siti juga menegaskan dan memberikan elaborasi berkenaan target NDC Indonesia yang cukup ambisius dibuktikan dengan kerja lapangan sebagai implementasi.
Dia menekankan tentang penyebutan target penurunan emisi 29% hingga 41% yang harus dibaca secara berbeda, meskipun masih dalam notasi angka target yang sama.
Menurut Siti, data Update NDC (UNDC) untuk penurunan emisi harus dibaca dengan target 41 % dalam kerja keras implementasi, perkuat upaya adaptasi sekuat mitigasi dan perluas obyek baru dengan sasaran obyek ke marine ecosystem terutama mangrove dan terumbu karang, dukungan blue carbon serta dukungan kerjasama, finansial dan teknologi termasuk dengan dunia usaha.
“Indonesia berpandangan bahwa komitmen untuk meningkatkan Ambisi negara berkembang terkait transisi energi juga perlu didukung oleh komitmen penyediaan dana yang memadai. Hal ini sejalan dengan Indonesia yang lebih menekankan pada upaya peningkatan berbasis ambisi atas pencapaian selama ini, bukan sekedar kemauan politik tanpa landasan yang kokoh,” tegasnya.
Selanjutnya, Siti menegaskan bahwa penurunan emisi terbesar ditargetkan dari sektor kehutanan dan land use, serta sektor energi. Pada sektor hutan dan land use ditegaskannya tentang Agenda khusus FoLU Netsink 2030 atas pertimbangan dan perumusan teknis yang rinci dan matang.
"Pertimbangan kunci agenda netral karbon sektor hutan dimaksud setelah pengalaman nyata Indonesia berdasarkan pada scientific sense dan pengalaman atau bukti lapangan," imbuh dia.
Selain itu, telah terjadi penurunan deforestasi tahun 2019-2020 sebesar 78% sebagai angka deforestation rate terendah sejak tahun 1990, yaitu sebesar 115 ribu ha dan sebelumnya di tahun 2018-2019 seluas 460 ribu ha dan tahun 2014-2015 seluas 1,09 juta ha dan tahun 1996-2000 seluas 3,51 juta ha.
Sejak 2019 Indonesia menegaskan moratorium permanen seluas 66,2 Juta Ha untuk tidak diberikan lagi ijin baru. Penetapan areal bernilai konservasi atau high conservation value forest (HCVF) seluas 3,87 juta Ha di areal konsesi HPH dna HTI serta sekitra 1,34 juta Ha HCVF di areal perkebunan sawit.
Luas areal terbakar akibat kebakaran hutan dan lahan telah menurun tajam di tahun 2020, yaitu 82% dengan perkiraan emisi GRK menurun hingga sebesar sekitar 93%.
Demikian pula rehabilitasi gambut seluas 3,74 juta ha melalui kegiatan re-wetting gambut , menjaga agar gambut tetap basah, dengan infrastruktur sekat kanal, sumur bor, dan dengan pengendalian rencana kerja dan pemantauan tinggi muka air gambut dan ketaatan konsesi dan pembinaan pengelolaan gambut pada 600 ribu ha areal masyarakat.
Begitu pula telah dilakukan kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan dari 1.53 juta ha dan rehabilitasi mangrove 18 ribu ha tahun 2020 dan tahun 2021 mencakup areal 40 hingga 83 ribu ha, serta hingga 2024 diproyeksikan akan ditanam hingga 600 ribu ha.
Akses perhutanan sosial seluas 4,72 juta ha untuk dikelola oleh masyarakat telah mencakup 7.212 kelompok dan 1,03 juta Kepala Keluarga. Dan tentu saja langkah penegakan hukum dengan operasi 1.658 kali untuk pengamanan hutan sekitar 25 juta ha, pengawasan 1.174 kali di areal konsesi dan penerapan sebanyak 1882 sanksi administratif kepada perusahaan, serta 29 gugatan perdata ke pengadilan.
Siti menegaskan bahwa praktek itu sudah berjalan dalam kurun waktu 5-7 tahun hingga saat ini, dan saatnya kini memantapkan kebijakan dan implementasi tersebut dalam standar operasional prosedur atau SOP yang bisa dituangkan dalam pedoman kerja ke depan berupa manual, tutorial dan lan-lain. Menteri Siti menjelaskan oipitmisme itu. (Ata)