Headline

Pemilu 1977 dan 1999 digelar di luar aturan 5 tahunan.

Fokus

Bank Dunia dan IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini di angka 4,7%.

Orkes Tanjidor, Melawan Perkembangan Musik Modern

M. Iqbal Al Machmudi
31/8/2021 14:19
Orkes Tanjidor, Melawan Perkembangan Musik Modern
Kelompok tanjidor tiga bersaudara membawakan lagu kincir-kincir saat memulai latihan di sanggar seni tanjidor Jalan Kecapi, Jagakarsa.(MI/TAUFAN)

ORKES tanjidor merupakan warisan budaya takbenda yang ditetapkan Kemendikbud-Ristek, permainan alat musik khas Eropa tersebut berasal dari DKI Jakarta.

Nasib tanjidor kini nyatanya sangat memprihatinkan di tengah berkembangnya musik modern, kesenian Betawi tersebut perlahan mulai memudar karena masyarakat Ibu Kota memilih musik modern dan minimnya regenerasi.

Baca juga: Masyarakat di Kawasan 3T Terjangkau Bansos, Mensos Risma Siapkan Aturan Khusus

"Dalam prespektif saya tanjidor di Tanah Betawi merupakan musik modern karena sentuhan tradisional yang membuat kesenian ini dipandang seni tradisi. Tanjidor itu masih tetap eksis, masih tetap hidup, cuman memang kondisinya sangat memperihatinkan," kata Tokoh Forum Pengkajian Betawi, Yahya Andi Saputra saat dihubungi, Selasa (31/8).

Alat musik tanjidor sendiri berupa klarinet, piston, trombon, tenor, bas trompet, bas drum, tambur, dan simbal.

Tanjidor biasa dimainkan untuk acara perkawinan, arak-arakan pengantin sunat, bebesanan, pawai hari-hari besar, dan sebagainya

Saat ini, lanjut Yahya, masyarakat Jakarta lebih melihat yang praktis dan murah maka ketika tanjidor dengan harga sewa Rp7-15 juta, maka organ tunggal lebih dinilai praktis dan lebih murah untuk hajatan.

"Maka dari itu orang-orang kota untuk memperhitungkan efisiensi semurah-murahnya maka itulah nasib dari tanjidor," ucapnya.

Kesenian tradisional regenerasi kemampuan bermain disampaikan secara alamiah yang terjadi turun menurun. Diajarkan mulai cara bermain, membersihkan alat, mendapatkan pesanan untuk bermain, dan sebagainya diajarkan secara alamiah.

Menurut Yahya cara tersebut tidak bisa diandalkan untuk masa sekarang karena memainkan tanjidor bukan perkara gampang. Seniman itu adalah manusia yang separuh dirinya adalah bakat dan separuhnya adalah rasa cinta.

Seniman musik dapat pewarisan dari melihat tingkah laku keseharian orang tua yang memainkan dan memanfaatkan alat musik itu. Sayangnya dim masa sekarang sudah tidak efektif.

"Oleh karena itu generasi muda satu-satunya cara adalah pewarisan regenerasi melalui cara ilmiah diajarkan di sekolah sehingga menjamin keberlangsungan orkes tanjidor," ungkapnya.

Sejarah Tanjidor

Konon, tanjidor berasal dari Belanda dan masuk ke Jakarta saat masa Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Berdasarkan catatan Kemendibud-Ristek tanjidor masuk ke Indonesia pada abad ke-18 yang dimainkan para budak.

Saat perbudakan dihapus pada tahun 1960 para budak berinisiatif membuat perkumpulan musik. Tanjidor berkembang di daerah pinggiran Jakarta, Depok, Cibinong, Citeureup, Cileungsi, Jonggol, Parung, Bogor, Bekasi dan Tangerang.

Lagu-lagu yang biasa dibawakan orkes tanjidor antara lain berjudul Batalion, Kramton, Bananas, Delsi, Was Tak-tak, Welmes, Cakranegara dan lainnya.

Saat ini sanggar tanjidor yang masih tersisa dan beredar di Jabodetabek sebanyak 12 sanggar. Tetapi yang sering tampil hanya ada 5 sanggar. Di Jakarta Selatan 1 sanggar, Jakarta Timur 2 sanggar, Jakarta Barat 1 sanggar, dan Jakarta pusat 1 sanggar. (OL-6)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Astri Novaria
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik