Headline
Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.
Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.
Kawasan Pegunungan Kendeng kritis akibat penebangan dan penambangan ilegal.
SIANG hari sinar matahari cukup terik dan udara cukup panas. Hawa yang panas tidak menyurutkan semangat Silvia Piobang, 41, menyelesaikan rajutannya.
Dia duduk di atas kursi roda di rumahnya kompleks Perumahan Wisma Indah, pinggiran laut di kawasan Ulak Karang Utara, Kecamatan Padang Utara, Kota Padang, Sumatra Barat, sambil merajut benang polyester untuk dibentuk menjadi sarung botol minuman.
Silvia Piobang merupakan penyandang tunadaksa. Dengan ketidaksempurnaannya, Silvia tetap bisa hidup mandiri dan menghasilkan produk-produk yang bernilai ekonomi.
"Ini saya sedang buat sarung tumbler (botol tempat minum), memadukan warna abu-abu, pink, dan kuning. Ini untuk tumbler ukuran 600 ml dan dijual Rp40 ribu," kata Silvia, memulai pembicaraan dengan Media Indonesia, pekan lalu.
Di masa pandemi yang belum reda, Silvia terus memutar otak untuk bisa bertahan hidup dari kursi roda. Kepiawaiannya merajut benang harus dibarengi dengan ide-ide menarik untuk memproduksi barang yang dibutuhkan pasar.
Saat ini pekerjaan merajut benang juga dilakoni banyak orang, alternatif dari pemberhentian hubungan kerja (PHK), dan sebagainya.
Silvia kembali menunjukkan hasil rajutan sarung tumbler yang banyak diminati konsumen. Selain membuat kerajinan, Silvia juga membantu administrasi di sebuah kursus pelatihan.
Di tengah pandemi tahun lalu, Silvia mengaku banyak rezeki yang diterima dari hasil berjualan produk rajutan. Mulai masker, tali masker untuk perempuan cukup laris di pasaran.
"Juni 2020, pemakaian masker yang membutuhkan konektor masker dan masker rajut laku di pasaran, dapat untungnya beli ponsel dengan spesifikasi bagus. Ponsel pun terasa manfaatnya karena bisa ngedit desain dan video juga," ungkap Silvia.
Ia mulai tertarik belajar merajut saat dirawat di rumah sakit setelah mengalami kecelakaan mobil. Silvia sering melihat perawat merajut di waktu senggang. Di situlah ia mulai tertarik dan mulai serius merajut setelah keluar dari rumah sakit.
Pada 2015, hasil rajutannya yang memiliki nilai ekonomi dijadikan modal untuk membuat UKM dan didaftarkan ke Dinas Koperasi dan UKM dengan nama Silvia Piobang Handycraft. Ia sempat tidak percaya diri karena banyak UKM yang terdaftar dan sudah berpengalaman. Sementara itu, ia hanya pemula.
"Waktu itu sempat tidak percaya diri karena kelompok usaha yang diajukan punya produk unggulan masing-masing, bahkan ada beberapa UKM yang sudah menjalankan usahanya, sedangkan saya hanya bidang rajutan, itu pun masih baru belajar," ujar dia.
Namun, beberapa teman UKM lainnya selalu menyemangati Silvia supaya tetap percaya diri dan terus belajar mendalami usaha rajutannya.
Semenjak itu, ia terus belajar mengikuti berbagai kelas rajutan, bahkan belajar secara daring dengan salah seorang perajut terkenal dari Bogor melalui grup di media sosial.
"Dulu saya pernah juga mendapat penolakan di beberapa tempat saat mendaftar pelatihan merajut karena mereka mengira saya tak mampu mengikuti kelas itu atas keterbatasan yang saya miliki," ujarnya.
Penolakan tersebut dijadikan sebagai motivasi baginya untuk menunjukkan ke semua orang keterbatasan bukanlah sebagai penghalang untuk berkarya.
Biaya pelatihan yang diikuti berasal dari uang hasil penjualan rajutannya. Hingga sekarang ia mampu menerima pesanan konsumen berupa tas, sepatu, jilbab, aksesori, dan beberapa jenis produk lainnya.
Terkenal sampai luar negeri
Beberapa produk rajutan miliknya sudah terjual ke luar kota dan luar negeri, seperti ke Finlandia, Australia, dan Selandia Baru yang dijual secara daring lewat pesanan online. "Saya bisa membuat baju rajut Rp250 ribu hingga Rp400 ribu yang waktu itu merupakan pesanan dari Selandia Baru," sambung dia.
Untuk sepatu rajutan yang diproduksi beragam model dan rupa harga, mulai Rp600 ribu hingga Rp1,2 juta, lumayan laris. Terutama dibeli pejabat.
Sementara itu, untuk pasar luar negeri, rajutan yang cukup dilirik ialah (hodie) jilbab, anak jilbab, sal, dan balero.
Selain itu, barang rajutan produksinya pun semakin dikenal luas. Bahkan, pernah orang Malaysia datang ke rumahnya yang menjadi sentra kerajinan untuk memborong semua produk yang ada. Dia mengaku untuk pesanan kualitas tinggi standar ekspor dikerjakan secara hati-hati, telaten, dan menarik secara motif. "Hodie-nya ini lama mengerjakannya karena sistem kerja beragam sehari. Hodie kadang siap seminggu," jelas Silvia.
Sebelum pandemi, omzet Silvia dengan bendera Silvia Piobang Handycraft Rp3 juta-Rp4 juta per bulan. Itu lumayan cukup untuk menopang hidup mereka berdua. Namun, setelah pandemi, omzetnya tak menentu, bahkan kosong. "Bulan kemarin kosong. Bulan ini dari Digitatif dapat bonus dari jual sarung botol, sarung hand sanitizer," katanya.
Di masa pandemi, ia pernah mengalami masa-masa jaya pada Juli-September 2020. Melebihi dari omzet biasanya. "Sampai Rp7 juta," tukasnya.
Menariknya, Silvia dalam menjalankan usaha rajutan ini, menakar harga lebih murah jika dibandingkan dengan pasaran. "Tidak banyak ambil untung. Keluarkan bahan, biaya tak terduga, dan keuntungan. Kualitas tetap utama, tapi sistem Tiongkok, sedikit untung, tapi banyak laku," ungkapnya.
Ia mengakui perjuangannya saat merajut dilakukan dengan cara menelungkup di atas kasur karena tidak tahan duduk lama.
"Lagian konsumen tidak menanyakan proses pembuatannya, tetapi hasilnya," sambung dia.
Selain membuka usaha rajutan, ia juga sering mengisi pelatihan rajutan di beberapa daerah di Sumatra Barat. (N-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved