Headline
PRESIDEN Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah menetapkan tarif impor baru untuk Indonesia
PRESIDEN Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah menetapkan tarif impor baru untuk Indonesia
MALAM itu, sekitar pukul 18.00 WIB, langit sudah pekat menyelimuti Dusun Bambangan
SAAT ini, berbagai bentuk kejahatan di dunia nyata banyak juga ditemui di dunia siber. Antisipasi terhadap kejahatan di dunia siber pun menjadi pekerjaan rumah bersama karena intensitasnya yang semakin tinggi.
Dari catatan kepolisian, Anggota Komisi I DPR RI Sukamta menyebut kejahatan siber, sampai akhir Maret 2021, berjumlah sekitar 3.500 laporan.
Misalnya, konten provokatif mencapai 1.048 kasus dan penipuan daring mencapai 649 kasus.
Baca juga; Rektor IPB Ungkap Plus Minus Peleburan Kemenristek ke Kemendikbud
Selain itu, kasus-kasus kejahatan siber yang banyak terjadi adalah pornografi, akses ilegal, perjudian, peretasan, gangguan sistem, hingga intersepsi (penyadapan).
"Itu jenis-jenis kejahatan siber yang kuantitas dan kualitasnya tinggi," terang dia dalam webinar Merajut Nusantara bertajuk "Pemanfaatan TIK Sebagai Media Edukasi Masyarakat Menghadang Cyber Crime dan Hoaks", Sabtu (17/4).
Sukamta menyebut kejahatan siber menjadi pekerjaan rumah yang harus menjadi perhatian. Terlebih lagi, masyarakat Indonesia banyak mengakses media sosial dan bisa menjadi korban dalam kejahatan siber.
"Saya pun mengajak ke masyarakat agar memakai media sosial untuk hal yang bermanfaat saja," kata dia.
Kejahatan siber yang bisa muncul di dunia maya, salah satu yang sederhana adalah hoaks.
Pada awal-awal internet, hoaks dibuat hanya untuk lucu-lucuan, tapi sekarang menjadi masalah serius dan bisa berdampak ke masyarakat. Bahkan, ia berharap, Kepolisian dan Kominfo membentuk direktorat khusus mencegah hoaks.
Dari survei sederhana yang dilakukannya melalui daring, Sukamta mencatat, paling tidak ada enam alasan melakukan hoaks.
Pertama, semakin tinggi biaya pengeluaran internet seseorang, semakin tinggi kecenderungannya untuk menyebarkan hoaks. Kedua, semakin tinggi kepercayaan terhadap konspirasi, semakin tinggi kecenderungannya menyebarkan hoaks.
Ketiga, orang yang memiliki tingkat kepemimpinan (leadership) di dalam sebuah kelompok, ia ada kecenderungan untuk menyebarkan hoaks. Keempat, Mereka yang rendah kepercayaan agamanya lebih rentan untuk menyebarkan hoak.
Kelima, mereka yang tidak percaya diri dalam kecakapannya di media sosial lebih cenderung menyebarkan hoaks. Keenam, sebagian besar masyarakat umumnya punya kecenderungan rendah menyebarkan hoaks.
Ia juga menyoroti fenomena kreator konten dan clickbait di dunia siber.Sebagian kreator konten ada kecenderungan untuk memancing konflik sosial agar semakin banyak yang mengeklik konten mereka.
"Di media sosialnya makin populer, rupiahnya makin gede," kata dia.
Dalam webinar tersebut, Praktisi Kehumasan dan Komunikasi Publik, Freddy Tulung menyoroti tingginya pengakses internet di Indonesia. Dari sekitar 275 juta penduduk Indonesia berusia 16-64 tahun, banyak yang hampir 9 jam terkoneksi dengan internet. Bahkan, sekitat 170 juta penduduknya aktif menggunakan media sosial.
"Sembilan jam terkoneksi dengan interne tentu akan mempengaruhi pola pikir," kata dia.
Padahal, sebuah hoaks itu hanya memerlukan waktu 3 menit untuk dapat menyebar ke sepuluh titik.
Di sisi lain, setelah hoaks menyebar, tindakan klarifikasi tidak bisa dilakukan secara cepat. Klarifikasi hoaks membutuhkan waktu 60 menit sehingga ketinggalan dari kecepatan persebaran hoaks.
Ia pun mencatat beberapa faktor yang menyebabkan hoaks banyak beredar di dunia siber. Pertama, dunia siber bersifat global sehingga siapa saja bisa mengaksesnya. Kedua, dunia siber juga bisa menyediakan tampilan anonimity atau mampu merahasiakan identitas.
Ketiga, dunia siber menyediakan wadah untuk dapat berinteraksi secara 24 jam. Keempat, dunia siber menyediakan kecepatan pertukaran data dan
informasi. (OL-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved