Headline
Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.
Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.
SURAT Keputusan Bersama (SKB) 3 menteri yang mengatur penggunaan seragam sekolah peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan dinilai menjauhkan tujuan pendidikan nasional.
"Memberikan kebebasan pada anak secara serampangan pada SKB 3 menteri tersebut sangat berbahaya dan bisa berdampak luas," ujar Konsultan pada Lentera Anak Foundation, Reza Indragiri Ariel kepada mediaindonesia.com, Senin (8/2).
Reza menjelaskan dalam Pasal 29 ayat 2 UUD menggunakan kata kemerdekaan, bukan kewajiban. Diksi ini memberikan ruang kepada siapa pun untuk memeluk agama apa pun. Tapi secara semena-mena, kata "kemerdekaan" bisa ditafsirkan sebagai jaminan bahwa anak atau peserta didik juga bisa berperilaku sekehendak mereka sendiri. Termasuk, anak atau peserta didik, berkat kata "kemerdekaan", seakan bisa mengabaikan kewajiban mereka untuk berbusana tidak sesuai dengan ketentuan agama mereka. Spesifik, siswi muslimah merdeka untuk berjilbab maupun tak berjilbab.
"Jadi untuk menutup celah bagi interpretasi menyimpang itu, perlu dilakukan perumusan ulang atas pasal 29 ayat 2 UUD. Alternatif lain, kata "kemerdekaan" perlu diberikan penjelasan tentang seberapa jauh kemerdekaan itu diterapkan dan tidak diterapkan pada subjek anak-anak," jelas Reza.
Terkait SKB 3 Menteri, ungkap Reza, memuat frasa "memberikan kebebasan kepada peserta didik". Meski terkesan indah, namun frasa tersebut bertentangan dengan dinamika psikologis anak itu sendiri. Anak diasumsikan sebagai individu yang belum cukup cakap (kompeten) untuk membuat keputusannya sendiri.
"UU Perlindungan Anak memang menjamin bahwa anak berhak mengeluarkan pendapatnya. Tapi pada saat yang sama tidak ada pasal dalam UU tersebut yang mewajibkan diamininya atau dipenuhinya pendapat anak tersebut. Konstruksi pasal-pasal dalam UU Perlindungan Anak tersebut menunjukkan bahwa setelah diperhatikan dengan seksama, pendapat anak bisa saja diabaikan sepanjang pengabaian itu justru akan mendukung terealisasinya kepentingan terbaik anak," paparnya.
Dengan kata lain, unsur kehendak anak bisa dikesampingkan sepanjang--sekali lagi--pengesampingan itu justru lebih kondusif bagi terpenuhinya kepentingan terbaik anak.
Baca Juga: SKB Tiga Menteri Tentang Seragam Sekolah
Dari situ bisa dibayangkan sebuah ilustrasi. Ketika anak menyatakan bahwa ia menolak mengenakan busana yang diwajibkan sesuai kaidah agamanya, jika pernyataan anak tersebut dipenuhi, maka itu justru akan menjauhkan anak atau peserta didik dari tercapainya tujuan pendidikan (menjadikan peserta didik sebagai manusia beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia).
Sebaliknya, pengabaian terhadap pendapat peserta didik tersebut justru akan lebih memungkinkan terealisasinya tujuan pendidikan dimaksud. Dengan kata lain, tetap mewajibkan peserta didik berbusana sesuai kewajiban agamanya, betapa pun bertentangan dengan kehendak anak, justru lebih mendukung terpenuhinya kepentingan terbaik anak.
"Dinamika psikologis anak dan konstruksi pasal-pasal dalam UU Perlindungan Anak, dengan demikian, memberikan justifikasi kepada semua pihak--termasuk Pemda dan pihak sekolah--untuk mewajibkan bagi peserta didik berbusana sesuai ketentuan yang diwajibkan oleh agamanya masing-masing," ungkap dia.
Dengan demikian, menurut Reza, frasa "memberikan kebebasan kepada peserta didik" berisiko menjerumuskan anak (para peserta didik) dalam pembuatan keputusan yang justru menjauhkan diri mereka dari terpenuhinya tujuan pendidikan nasional dan terealisasinya kepentingan terbaik anak-anak itu sendiri. (OL-13)
Baca Juga: MUI: Aturan Seragam Lewat SKB 3 Menteri Bikin Indonesia Sekuler
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved