Headline
Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.
Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.
Presiden menargetkan Indonesia bebas dari kemiskinan pada 2045.
LUKY tidak pernah berpikir akan bergelut di bidang tani dan ternak organik. Sebelumnya, ia hanya merupakan karyawan biasa di sebuah perusahaan di Singapura.
Semua ini bermula ketika dia didiagnosis menderita autoimun. Pria bernama lengkap Luky Lambang Santoso ini pun mulai mengubah gaya hidup. Dari mengonsumsi makanan serbaorganik hingga akhirnya melebarkan gerakannya menjadi mengelola bisnis berkelanjutan dan mengedukasi banyak orang tentang gaya hidup sehat.
“Dari proses sakit itu, saya akhirnya tahu juga bahwa ternyata tubuh saya sudah terlalu banyak terpapar bahan kimia, seperti timbal dan merkurium. Setelah saya cari tahu, hal itu ternyata banyak masuk dari makanan yang terpapar kimia,” ujar sarjana teknik dari sebuah universitas di Bandung ini kepada Media Indonesia, Senin (9/11).
Luky akhirnya memutuskan mulai berkebun menanam sayur dan buah organik. Ia memulai kegiatannya itu pada 2010. Ia memilih kawasan di pinggir hutan Cimahi, Bandung.
“Sejak 2014 akhirnya saya benar-benar membuat rumah dan tinggal di sana,” ujar Luky.
Menurut dia, lahan yang dimilikinya di sana seluas 1,2 hektare. Namun, hanya 3.500 meter yang ia gunakan untuk bertani organik. Ia kemudian memberi nama kawasan itu dengan nama Rumah Kayu Permaculture (RKP).
“Sisanya saya gunakan untuk konservasi. Jadi saya tanam pohon-pohon untuk penghijauan dan tempat bagi hewan-hewan liar di sana,” ujarnya.
Meski tak terlalu luas, ia berharap lahan konservasinya bisa bermanfaat. Selain untuk habitat tumbuhan dan hewan, juga sebagai salah satu wilayah resapan air.
Sejak bermukim di lahan tersebut, Luky pun semakin intens menanam berbagai jenis sayur dan buah organik. Ia juga beternak berbagai jenis unggas dan ikan. Ia menggunakan hasilnya untuk dikonsumsi pribadi dan juga untuk dijual.
Eco enzyme
Awalnya, dia menggunakan pupuk kompos dari sampah organik sisa rumah tangganya. Namun, seiring waktu, kebutuhan akan kompos meningkat. Luky akhirnya mulai menampung sampah organik dari warga sekitar tempatnya tinggal sebagai bahan kompos. Ia juga akhirnya mulai membuat eco enzyme atau cairan yang diproduksi dari fermentasi sampah organik.
“Saya ada beberapa jenis kompos yang diproduksi. Saya buat eco enzyme juga dari sampah organik dari hasil konsumsi sendiri. Tapi ternyata tidak cukup, akhirnya saya mengumpulkan dari pedagang-pedagang keliling dan pedagang sayur di pasar dekat tempat saya tinggal,” ujar Luky.
Ia mengaku secara rutin mengambil sisa sampah organik dari pedagang keliling dan pedagang di pasar. Selain bermanfaat untuk pertanian dan ternak organiknya, ia berharap kegiatannya dapat mengurangi jumlah sampah yang berakhir di tempat pembuangan akhir.
“Saya sampai terkenal sebagai tukang sampah di antara pedagang-pedagang pasar karena saya selalu datang setiap hari mengambil sampah organik mereka,” ujarnya.
Luky juga menggunakan hasil eco enzyme untuk pakan unggas. Kemudian, kotoran unggas digunakan lagi sebagai bahan kompos. “Jadi semua berputar, tidak ada sampah organik yang dihasilkan,” ujarnya.
Selain itu, ia memanfaatkan hasil eco enzyme untuk beberapa produk turunan lain. Mulai pestisida alami, pembasmi nyamuk, hingga disinfektan.
Untuk air, Luky juga melakukan sistem pemanfaatan kembali. Ia mengaliri air sisa penggunaan yang tak terpapar kimia sebagai air minum unggas atau menyiram tanaman. Dengan begitu, air tidak langsung terbuang ke sungai.
Saat ini komoditas tanaman dan unggas organik Luky dipasarkan melalui beberapa cara. Mulai ke konsumen perseorangan hingga disalurkan ke beberapa toko.
“Sebelum pandemi ini, kami bekerja sama dengan kelompok tani. Tapi karena pandemi, semua penyaluran terhambat dan terpaksa harus bergerak sendiri,” ujarnya.
Ia mengatakan, bertani organik merupakan hal yang sangat penting dilakukan. Selain bermanfaat bagi tubuh yang lebih sehat karena tidak terpapar kimia, prosesnya juga tidak berpotensi merusak dan mencemarkan lingkungan.
Namun, ia mengakui tidak mudah untuk mengampanyekan dan mengedukasi sesama petani untuk setidaknya mau menggunakan pupuk kompos organik.
“Saya selalu berusaha mengedukasi dan membuat pupuk kompos di tempat terbuka agar mereka bisa melihat dan mempelajari prosesnya. tapi memang tidak mudah. Karena umumnya mereka mau yang instan dan cepat, sedangkan mengompos ini butuh waktu,” ujarnya.
Meski begitu, Luky tak menyerah untuk mengedukasi berbagai pihak mengenai manfaat menjaga tubuh dan lingkungan lewat bertani atau mengonsumsi hasil pengan berkelanjutan.
Ia kerap melakukan workshop dan edukasi pada berbagai kalangan. Mulai warga perumahan hingga siswa-siswi sekolah. Konsep bertani organik dan permakultur diharapkan dapat diterapkan mereka meski hanya di skala rumahan.
“Intinya saya tidak mau meninggalkan bumi tempat saya tinggal dalam keadaan rusak. Saya akan terus berusaha mengompori teman-teman dan orang sekitar saya untuk mengurangi sampah dengan mengubahnya menjadi kompos atau paling tidak silakan menyalurkannya ke saya,” ujar Luky. (M-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved